Sebuah kapal phinisi dari Ara dan Tanjung Bira, Bulukumba, Sulawesi Selatan
 telah melakukan peluncurannya tadi malam (8/11) melalui prosesi adat 
setempat. Kapal phinisi pesanan Polandia tersebut merupakan yang 
terbesar yang pernah dibuat dalam sejarah Bulukumba. Masyarakat Tanjung 
Bira di Bulukumba sendiri memiliki tradisi pembuatan perahu dan kapal 
laut sejak ratusan tahun lalu.
Kapal phinisi bukan tak terkenal karena seluruh penjuru negeri bahkan dunia telah mengetahui bahtera ciri khas Nusantara tersebut. Jenis perahu tradisional dari Bukukumba telah menjadi trademark tradisi bahari nenek moyang Indonesia dan sebuah upaya mempertahankan identitas masyarakat bahari yang kreatif dan ulet.
Prosesi penggeseran kapal phinisi 
dikerjakan 100 orang dan dihadiri Wakil Bupati Bulukumba Samsuddin, 
pejabat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, serta para stafnya. Selain itu,
 seluruh tenaga pekerja pembuat kapal yang berbahan kayu besi itu hadir 
untuk prosesi adat.
Dari fase penggeseran badan kapal sejak 
malamnya, perlu sekitar 3 minggu lagi hingga seluruh badan kapal 
memasuki air dan akan ditarik feri hingga Semarang.
 Pembuatan badan kapal phinisi tersebut telah memakan waktu 9 bulan. 
Setelah selesainya badan kapal, proses finishing dan interiornya akan 
dilakukan di Semarang.
Kapal phinisi tersebut memakan biaya 
pembuatan Rp 4 miliar untuk badannya saja yang memiliki panjang 50 meter
 dan bagian terlebar hampir 10 meter. Finishing di Semarang memakan 
biaya tiga kali lipat biaya untuk pembuatan badannya.  Niat Pemerintah 
Daerah Bulukumba melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yaitu ingin 
mempertahankan Tanjung Bira, Bulukumba ini sebagai tempat pembuatan 
phinisi.
"Ini
 sebuah moment penting, karena kapal phinisi pesanan Polandia ini 
merupakan yang terbesar yang pernah dibuat dalam sejarah Bulukumba," 
jelas Nazaruddin, Kepala Dinas kebudayaan dan Pariwisata, Bulukumba. 
Kapal ini dibuat di sini (Tanjung Bira) sebagai tahap awal dari 
keseluruhan proses pembuatan. Di sinilah konstruksi badan kapal 
disiapkan karena memang ahlinya ada di sini, yaitu Haji Muslim Baso 
(66), dari desa Ara, Bonto Bahari.
 "Ancaman yang memprihatinkan bagi kami 
ialah para pembuat phinisi ini berpindah tempat ke provinsi lain karena 
bahan baku yang lebih mudah. Jadi ini persoalan nasional dan harus 
dibicarakan," ungkap Nazaruddin,  selagi menerangkan keindahan Pantai 
Pasir Putih, Tanjung Bira. Bila hal ini dibiarkan maka Tanjung Bira bisa
 terancam hilang dari peta wisata sejarah dan budaya Indonesia.
Haji M. Baso sudah membangun sekitar 200
 kapal dan perahu dari berbagai ukuran dan jenis. "Selama ini, perahu 
wisata terbesar yang saya buat di Bonto Bahari, dari pengalaman saya 
sejak tahun 1991," tuturnya selagi menjawab beberapa pertanyaan dari 
berbagai media yang meliput penggeseran kapal ini.
"Lambung kapal ini kira-kira 3 meter 
dalamnya, jadi saya pilih tempat ini karena kedalaman air yang cocok," 
jelas Haji M. Baso saat mengomandoi para pekerja yang menggeserkan badan
 kapal yang seharinya bisa dipindahkan sejauh 15 hingga 20 meter. Hingga
 Rabu pagi (9/11) tim pekerja pimpinan Haji Muslim Baso sudah menggeser 
sekitar 5 meter.
Michael, salah seorang wisatawan mancanegara dari Chekoslovakia sudah berada di Indonesia selama 2,5 bulan telah turut mengikuti prosesi sejak beberapa hari lalu. Ia sungguh mengagumi kelihaian masyarakat Bulukumba dalam membina bahtera besar tersebut.
Tidak
 hanya kapal ini yang sedang dibina dalam pengawasan Haji Muslim Baso, 
ada kapal lain berupa perahu serupa yang lebih kecil pesanan pengusaha 
Belgia. Selain itu, terdapat sampan sebanyak 12 buah dan meja pesanan 
dari Kolombia. Jelas, keterampilan dan pengetahuan para lokal genius di 
Tanjung Bira telah mampu menembus tabir pasar pelayaran dunia.
Bagi warga Tanjung Bira sendiri, 
pembinaan perahu phinisi tersebut hanyalah salah satu proyek bersama 
dalam tahun ini. Akan tetapi, dengannya nama Tanjung Bira terkenal 
dengan prestasi pembuat perahu phinisi terbesar.






0 komentar:
Posting Komentar