Welcome My Blog Village


Diskusi Publik Mengenai Pinisi

Sabtu 25 Agustus 2012 bertempat di tanah kelahiran kapal pinisi yakni di desa Ara, kec. Bontobahari, forum pemerhati Ara-Lembanna melaksanakan diskusi publik mengenai pinisi dengan tema “ Pinisi : Sejarah, Budaya, dan Kesejahteraan Masyarakat

leang passea aset besar yang terabaikan

Leang (Gua) Passea di Kampung Ara, Kabupaten Bulukumba, adalah salah satu situs pekuburan kuno di Sulawesi. Di dalamnya, peti-peti mati yang dahulu tergantung di dinding gua, kini berserakan tak karuan bercampur tulang-belulang dan pecahan keramik kuno. .

Monumen Mandala Harusnya di Desa Ara, Bukan di Makassar

Monumen ini sepantasnya berada di Desa ara, pertanyaan selanjutanya kenapa desa Ara dianngap pantas menjadi tempat monumen mandala pembebasan Irian Barat.

KEPMA Ara-Lembanna Tolak Pembangunan Pabrik Peleburan Biji Besi Di Ara

Sejumlah mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam kerukunan pelajar dan mahasiswa Ara-Lembanna melakukan aksi di depan kantor Desa Ara, Kecamatan Bonto Bahari, mereka menenolak pembangunan pabrik peleburan biji besi, hari ini, Senin (9/4/2012)..

Foto-foto Pinisi Karya Orang Ara.

Selasa, 07 Desember 2010

Phinisi Nusantara : Buginese Boat Legend when to Northern America



Phinisi Nusantara is a traditional sailboat from Bugis, made by Bugis craftmanship. The sailboat was purposely made to participate in an international exhibition in Vancouver, Canada in 1986.
In the movie Titanic described how technologically advanced steamers in his time was sinking after hitting an iceberg in the middle Atlantic Ocean and claimed many lives. Meanwhile, Phinisi traditional ship passengers who were stranded on the island archipelago Coral Musi, Thousand Islands, on Sunday (15 / 9) all survived. Phinisi has ever managed to cross the Pacific Ocean the plan would bring joy sailing students in Secondary Schools (SMU) as DKI Jakarta recognize the sea. Ship tour on the date of 13 September 2002 even 16-year-old it and will be celebrated at next week stranded in the waters rock carried away by the wind.
Until recently, he was still submerged waiting for help from anyone who cares to him. With a half-hull ship stuck on the reef, deck helter skelter, the front mast (fore sail) screens floating on the water and Jib is torn and the silence in the fog that gripped, This is how the traditional sailing ship which is currently Phinisi Nusantara This is still aground.

Towards VancouverIf we look backward for a moment of history, this vessel successfully make its maiden voyage across the Pacific Ocean toward Vancouver, Canada, July 9, 1986 ago. In the harbor Marine Plaza, Phinisi archipelago was visited by many from the Vancouver community.
Traditional boat is in great demand by visitors for vessel made of wood it bravely crossed the ocean A terrifying Pacific.


At that time, people visit Vancouver to Phinisi archipelago each pretty busy day, an average of about 3,000 people. The peak at 21 September 1986, the ship was visited by approximately 25,000 visitors. Vancuover own community also has a maritime history of the old and continually maintained and diligently, thus, the presence of sailboats like Phinisi archipelago which has an international reputation certainly get a warm welcome.
However, the interest to buy this boat was not great. Even after one week Phinisi Nusantara moored at Marine Plaza, yet there is a bid was coming. Central committee who were in Jakarta, Minister of Finance JB Sumarlin EXPO ’86 as well as the person in charge of Indonesia, took steps to collect the American Oil Consortium in Indonesia for Phinisi buy Archipelago and donated to an agency or marine-related foundations.
Also, at first the ship was also projected to participate in the international arena on the theme of EXPO ’86 “World in Motion, World in Touch” and after attending the show then the ship will be submitted to the Institute of Oceanography, University of California, San Diego (UCSD). But in fact authorized official representing the University, namely Dr. Donald J Raidt not yet willing to sign the script before handover There is no certainty for Phinisi Nusantara renovated first so that they meet U.S. Bureau of Classification Standard (American Bureau of Shipping) and this are constrained by the cost, which is around $ 500,000 U.S..

sumber :


Rabu, 01 September 2010

Kapal Besar dari Desa Kecil (ARA)

 
 Seorang punggawa kapal pinisi di salah satu galangan di Tanah Beru Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, menggunakan pahat dan palu untuk membentuk tulang lambung pinisi. Dalam pembuatan pinisi, setelah membuat lunas maka para pengguwa akan membuat dinding lambung kapal, baru kemudian membuat tulang lambung untuk memperkuat dinding lambung yang sudah dibuat. 

Oleh: Genthong, Aryo Wisanggeni
 
Jika melihat kehebatan kapal layar tradisional pinisi yang memiliki daya muat ratusan ton dan kemampuan jelajah hingga ke benua Afrika, mungkin saja kita tak menyangka kalau kapal tersebut dibuat oleh warga di sebuah desa kecil di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Cara membangunnya pun sangat orisinil dan unik, dimulai dari menyusun kulit lalu membuat kerangka kapal.
Tempat pembuatan kapal pinisi berada di semenanjung Bira, yakni di desa Ara, Lemo-lemo, dan Bira. Warga di desa tersebut sudah turun temurun menguasai pembuatan kapal tradisional. Ribuan kapal kayu yang kerap bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta, Kalimas Surabaya atau pun di pelabuhan rakyat di Indonesia, bahkan dibuat dengan teknik pembuatan pinisi yang harus mendapat sentuhan orang dari Semenanjung Bira.
Konon, ilmu membuat kapal sudah diturunkan kepada warga tiga desa di Semenanjung Bira tersebut dari bangsawan Bugis-Makassar, Sawerigading. Syahdan, kapal yang digunakan Sawerigading -tokoh sentral mitologi Sulawesi Selatan- pecah digulung laut. Kemudian lambung kapal itu terdampar di Desa Ara. Haluan dan buritannya terdampar di Desa Lemo-lemo. Lunas, kemudi, dan layarnya terdampar di Desa Bira. Dari pecahan itu, mengalirlah ilmu membuat kapal pinisi
“Jadi sebodoh-bodohnya orang Bira jika berada di atas kapal pasti pintar. Orang Bira mendapat pusaka layar dan kemudi sehingga menjadi pelaut hebat. Sepintar-pintarnya orang membuat lambung, tidak akan lebih bagus pekerjaannya daripada lambung buatan orang Ara. Kami orang Lemo-lemo membuat haluan dan buritan, meski sekarang kami juga menjadi pelaut,” kata seorang pemilik galangan kapal, Haji Abdullah (49) yang menuturkan kembali mitologi itu di galangannya yang berada di Pantai Tanah Lemo, pesisir barat Semenanjung Bira, sekitar 23 km arah tenggara dari ibukota Kabupaten Bulukumba.
Mitologi itu menuntun jalan hidup orang Ara, Lemo-lemo, dan Bira. Seorang Lemo-lemo seperti Yusman (17) telah meninggalkan sekolahnya, dan kini belajar menjadi punggawa atau pembuat pinisi. Ia magang mengikuti pamannya, Baso (35), kepala punggawa di galangan Abdullah. “Saya tinggalkan sekolah sejak kelas 4 SD,” tutur Yusman sambil menaruh potongan kayu kandole di pelataran galangan, di antara hamparan serbuk dan serpihan kayu di belakang buritan pinisi garapan Abdullah. 
Parangnya membelah kayu itu, membentuknya menjadi pasak-pasak berdiameter 3 cm. Pasak-pasak Yusman akan merangkai papan kayu membentuk lambung kapal pinisi sepanjang 37,5 meter. Yusman bekerja dalam diam, mengikuti irama suara ombak yang bersahutan dengan dengungan ketam listrik, mesin amplas, dentam pahat beradu palu. Baso tersenyum memandangi Yusman. “Sekarang ia hanya boleh membuat pasak, menyiapkan kabel dan alat pertukangan, juga menyimpannya. Namun akan ada waktunya bagi Yusman untuk ikut menggarap kapal,” tutur Baso.
Ketekunan Yusman membuat pasak demi pasak itulah yang akan melanjutkan tradisi orang Semenanjung Bira sebagai pembuat perahu pinisi. Di tangan mereka, kapal kayu dengan dua tiang berikut tujuh layar itu bukan sekedar teks sejarah, meski legenda pinisi memiliki catatan panjang. 
Sumber : http://regional.kompas.com/read/2010/02/08/11434564/Getaran.Gempa.di.Museum.Merapi