Welcome My Blog Village


Diskusi Publik Mengenai Pinisi

Sabtu 25 Agustus 2012 bertempat di tanah kelahiran kapal pinisi yakni di desa Ara, kec. Bontobahari, forum pemerhati Ara-Lembanna melaksanakan diskusi publik mengenai pinisi dengan tema “ Pinisi : Sejarah, Budaya, dan Kesejahteraan Masyarakat

leang passea aset besar yang terabaikan

Leang (Gua) Passea di Kampung Ara, Kabupaten Bulukumba, adalah salah satu situs pekuburan kuno di Sulawesi. Di dalamnya, peti-peti mati yang dahulu tergantung di dinding gua, kini berserakan tak karuan bercampur tulang-belulang dan pecahan keramik kuno. .

Monumen Mandala Harusnya di Desa Ara, Bukan di Makassar

Monumen ini sepantasnya berada di Desa ara, pertanyaan selanjutanya kenapa desa Ara dianngap pantas menjadi tempat monumen mandala pembebasan Irian Barat.

KEPMA Ara-Lembanna Tolak Pembangunan Pabrik Peleburan Biji Besi Di Ara

Sejumlah mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam kerukunan pelajar dan mahasiswa Ara-Lembanna melakukan aksi di depan kantor Desa Ara, Kecamatan Bonto Bahari, mereka menenolak pembangunan pabrik peleburan biji besi, hari ini, Senin (9/4/2012)..

Foto-foto Pinisi Karya Orang Ara.

Minggu, 27 November 2011

Terpikat Pasir Putih Pantai Mandala Ria

PASIR PUTIH. Pantai Mandala Ria di Kabupaten Bulukumba tidak hanya menawarkan keindahan pantai dengan pasir putihnya yang lembut.



KEKHASAN Kabupaten Bulukumba salah satunya pada keindahan pantainya yang eksotik. Objek wisata yang mengandalkan keindahan panorama pantai dengan pasir putih yang membentang cukup banyak tersebar di beberapa tempat.

Wisatawan mancanegara maupun domestik cukup banyak mengenal Pantai Tanjung Bira yang pernah menjadi salah satu primadona wisata pantai. Namun, pantai berpasir putih yang indah tidak hanya Tanjung Bira saja.

Adapula Pantai Samboang, Pantai Lemo-lemo dan Pantai Mandala Ria. Masing-masing punya ciri khas sendiri. Pantai Mandala Ria misalnya, tidak hanya mengandalkan pasir putih sebagai objek wisata tetapi juga pada pembuatan perahu pinisi.

Suasana pantainya sangat nyaman. Apalagi, pepohonan yang rindang tumbuh sangat dekat di tepi pantai, sehingga cukup sejuk memandang lautan luas yang berbatasan pasir putih.

Air lautnya jernih tanpa tumpukan kotoran yang biasanya terlihat di bibir pantai. Bolehlah dikatakan sangat menyenangkan berlama-lama di tempat ini.

Beberapa vila yang ada disekitar pantai pun sebagian besar belum disewakan. Pengunjung yang datang tidak perlu merogoh kantongnya untuk urusan tempat berbaring sehabis bermain di pantai. 

Pengunjung bisa melihat lebih dekat cara pembuatan perahu pinisi. Tidak perlu berjalan jauh untuk mencapai galangan kapal, karena tepat berhadapan dengan pantai.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bulukumba, Andi Nasaruddin Gau mengatakan, Pantai Mandala Ria sudah dimasukkan dalam agenda pengembangan kawasan wisata. "Ada nilai berbeda dari tempat wisata lainnya," ucap Nasaruddin. (arm)



Sumber : http://www.fajar.co.id/20111126184726-pariwisata-sulsel-terpikat-pasir-putih-pantai-mandala-ria'

Jangan Lupa Mampir di Gua Passohara

BERKUNJUNG ke objek wisata Pantai Mandala Ria jangan sekadar menikmati pasir putih yang lembut dan tempat pembuatan perahu pinisi. Nikmati pula  keberadaan danau yang berada di bawah tanah.

Letaknya hanya sekira seratus meter dari bibir pantai. Danau bisa diakses dengan memasuki rongga bawah tanah berbentuk gua yang kokoh. Bentuknya sangat mengagumkan, lantaran panjangnya tidak kurang dari seratus meter.

Pengunjung berjiwa petualang merasa belum lengkap bila belum mampir di tempat ini. Memang, cukup terjal untuk mencapai rongga dan masuk ke aliran danau. 

Kepala Desa Lembanna, Kecamatan Bontobahari, Amar Ma'ruf mengatakan, objek wisata yang unik ini butuh pengembangan. Beberapa artefak peninggalan prasejarah juga ditemukan di tempat ini.

Sayangnya, Gua Passohara hanya mengandalkan kondisi alaminya saja. Tidak ada sentuhan untuk mempercantik agar menarik pengunjung datang. 

Padahal, bila dikembangkan, tidak hanya membantu pemerintah mengembangkan wisata tetapi juga menambah pendapatan masyarakat setempat. Perlu pembenahan dan promosi. (arm/rif)

Sumber : http://www.fajar.co.id/20111126184552-pariwisata-sulsel-jangan-lupa-mampir-di-gua-passohara'

Kamis, 10 November 2011

Peluncuran Kapal Phinisi (ARA) di Tanjung Bira, Bulukumba Membanggakan Indonesia

Sebuah kapal phinisi dari Ara dan Tanjung Bira, Bulukumba, Sulawesi Selatan telah melakukan peluncurannya tadi malam (8/11) melalui prosesi adat setempat. Kapal phinisi pesanan Polandia tersebut merupakan yang terbesar yang pernah dibuat dalam sejarah Bulukumba. Masyarakat Tanjung Bira di Bulukumba sendiri memiliki tradisi pembuatan perahu dan kapal laut sejak ratusan tahun lalu.

Kapal phinisi bukan tak terkenal karena seluruh penjuru negeri bahkan dunia telah mengetahui bahtera ciri khas Nusantara tersebut. Jenis perahu tradisional dari Bukukumba telah menjadi trademark tradisi bahari nenek moyang Indonesia dan sebuah upaya mempertahankan identitas masyarakat bahari yang kreatif dan ulet.

Prosesi penggeseran kapal phinisi dikerjakan 100 orang dan dihadiri Wakil Bupati Bulukumba Samsuddin, pejabat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, serta para stafnya. Selain itu, seluruh tenaga pekerja pembuat kapal yang berbahan kayu besi itu hadir untuk prosesi adat.

Dari fase penggeseran badan kapal sejak malamnya, perlu sekitar 3 minggu lagi hingga seluruh badan kapal memasuki air dan akan ditarik feri hingga Semarang. Pembuatan badan kapal phinisi tersebut telah memakan waktu 9 bulan. Setelah selesainya badan kapal, proses finishing dan interiornya akan dilakukan di Semarang.

Kapal phinisi tersebut memakan biaya pembuatan Rp 4 miliar untuk badannya saja yang memiliki panjang 50 meter dan bagian terlebar hampir 10 meter. Finishing di Semarang memakan biaya tiga kali lipat biaya untuk pembuatan badannya.  Niat Pemerintah Daerah Bulukumba melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yaitu ingin mempertahankan Tanjung Bira, Bulukumba ini sebagai tempat pembuatan phinisi.

"Ini sebuah moment penting, karena kapal phinisi pesanan Polandia ini merupakan yang terbesar yang pernah dibuat dalam sejarah Bulukumba," jelas Nazaruddin, Kepala Dinas kebudayaan dan Pariwisata, Bulukumba. Kapal ini dibuat di sini (Tanjung Bira) sebagai tahap awal dari keseluruhan proses pembuatan. Di sinilah konstruksi badan kapal disiapkan karena memang ahlinya ada di sini, yaitu Haji Muslim Baso (66), dari desa Ara, Bonto Bahari.

 "Ancaman yang memprihatinkan bagi kami ialah para pembuat phinisi ini berpindah tempat ke provinsi lain karena bahan baku yang lebih mudah. Jadi ini persoalan nasional dan harus dibicarakan," ungkap Nazaruddin,  selagi menerangkan keindahan Pantai Pasir Putih, Tanjung Bira. Bila hal ini dibiarkan maka Tanjung Bira bisa terancam hilang dari peta wisata sejarah dan budaya Indonesia.

Haji M. Baso sudah membangun sekitar 200 kapal dan perahu dari berbagai ukuran dan jenis. "Selama ini, perahu wisata terbesar yang saya buat di Bonto Bahari, dari pengalaman saya sejak tahun 1991," tuturnya selagi menjawab beberapa pertanyaan dari berbagai media yang meliput penggeseran kapal ini.

"Lambung kapal ini kira-kira 3 meter dalamnya, jadi saya pilih tempat ini karena kedalaman air yang cocok," jelas Haji M. Baso saat mengomandoi para pekerja yang menggeserkan badan kapal yang seharinya bisa dipindahkan sejauh 15 hingga 20 meter. Hingga Rabu pagi (9/11) tim pekerja pimpinan Haji Muslim Baso sudah menggeser sekitar 5 meter.

Michael, salah seorang wisatawan mancanegara dari Chekoslovakia sudah berada di Indonesia selama 2,5 bulan telah turut mengikuti prosesi sejak beberapa hari lalu. Ia sungguh mengagumi kelihaian masyarakat Bulukumba dalam membina bahtera besar tersebut.

Tidak hanya kapal ini yang sedang dibina dalam pengawasan Haji Muslim Baso, ada kapal lain berupa perahu serupa yang lebih kecil pesanan pengusaha Belgia. Selain itu, terdapat sampan sebanyak 12 buah dan meja pesanan dari Kolombia. Jelas, keterampilan dan pengetahuan para lokal genius di Tanjung Bira telah mampu menembus tabir pasar pelayaran dunia.

Bagi warga Tanjung Bira sendiri, pembinaan perahu phinisi tersebut hanyalah salah satu proyek bersama dalam tahun ini. Akan tetapi, dengannya nama Tanjung Bira terkenal dengan prestasi pembuat perahu phinisi terbesar.

Sumber : http://www.indonesia.travel/id/news/detail/540/peluncuran-kapal-phinisi-di-tanjung-bira-bulukumba-membanggakan-indonesia

Rabu, 09 November 2011

Ritual Adat Peluncuran Perahu Pinisi Terbesar sepanjang Sejarah Pembuatan Perahu Pinisi di Bulukumba.



Tadi malam (8/11/11) sekitar pukul 21.00 di pantai Panrang Luhu, desa Bira Kec. Bonto Bahari diadakan ritual adat peluncuran perahu Pinisi. Perahu Pinisi yang diluncurkan malam tadi merupakan perahu Pinisi terbesar yang pernah dibuat di Bulukumba. Perahu pinisi buatan H. Bso Muslim ini memiliki dimensi panjang 50 meter, lebar 10 meter, kedalaman 5 meter, serta tonase sekitar 800 s/d 900 ton. Perahu ini dibuat atas pesanan dari Polandia dengan harga pemesanan sekitar 4 M. Kondisi kapal yang diluncurkan semalam masih 75 %, yang selanjutnya setelah diluncurkan akan dikirim ke Semarang untuk dilengkapi dengan radar, interior, perlengkapan navigasi serta kelengkapan lainnya. Acara ini dihadiri Wakil Bupati Bulukumba H. Syamsuddin, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bulukumba Drs. A. Nasarauddin Gau dan jajarannya, pemilik kapal, serta tokoh masyarakat setempat.

Prosesi Ritual Appasili
Ritual adat peluncuran perahu pinisi ini diawali dengan upacara “appasili” yang bertujuan sebagai ritual untuk tolak bala. Untuk kelengkapan upacara telah disiapkan seikat dedaunan yang terdiri dari daun sidinging, sinrolo, taha tinappasa, taha siri, panno-panno yang diikat bersama pimping. Untuk kelengkapan acara disiapkan pula kue-kue tradisional seperti gogoso, onde-onde, songkolo, cucuru dll. Acara dimulai tepat pukul 21.00. Pembuat kapal dan sanro serta tamu khusus serta tokoh masyarakat duduk berhadap-hadapan di atas geladak kapal mengelilingi kelengkapan upacara yang akan dipakai dalam upacara “appasili”. Tak lama kemudaian mulut sanro berkomat-kamit membacakan “songkabala” yang selanjutnya menghadapi sebuah wajan yang berisi air (dari mata air) dan seikat dedaunan untuk membacakan mantra dengan khidmat dan khusuk. Air tersebut kemudian dibacakan dimantra-mantrai sambil diaduk-aduk dengan menggunakan seikat dedaunan yang telah dipersiapkan sebelumnya dan setelah pembacaan mantra selesai, kemudian air tersebut dipercikkan ke sekeliling perahu dengan cara dikibas-kibaskan dengan ikatan dedaunan tadi. Setelah upacara selesai, kemudian para tamu dijamu dengan penganan tradisional.
Prosesi Ritual Ammossi
Puncak acara semalam adalah “ammossi”, yakni pemberian pusat pada pertengahan lunas perahu yang selanjutnya akan dilakukan penarikan perahu ke laut. Pemberian pusat ini berdasar pada kepercayaan bahwa perahu adalah “anak” punggawa / panrita lopi. Berdasar pada kepercayaan itu, maka upacara “ammossi” merupakan simbol merupakan simbolisasi pemotongan tali pusar “bayi” yang baru lahir.
Sebelum prosesi “ammossi” dilakukan, seluruh kelengkapan upacara disiapkan di sekitar pertengahan lunas perahu yang merupakan tempat upacara. “punggawa” (pembuat perahu) berjongkok disebelah pertengahan lunas perahu berhadapan dengan “sanro”. Tak lama kemudian mulut “sanro” berkomat-kamit membacarkan mantra sambil membakar kemenyan. Selesai membaca mantra selanjutnya “sanro” membuat lubang di tengah “kalabiseang”, selanjutnya kalabiseang dibor sampai tembus ke sebelah kanan lunas perahu.
Setelah proses “ammossi” selesai, dimulailah ritual penarikan perahu ke tengah laut. Prosesi ini dahulunya memanfaatkan tenaga manusia yang sangat banyak untuk menarik perahu ke laut, namun karena tonase perahu yang sangat berat, prosesi ini sudah menggunakan peralatan yang lebih “modern”, yaitu katrol. Pada prosesi peluncuran tadi malam, penarikannyan menggunakan katrol dan rantai, sebagai simbolisasi penarikan perahu, perahu yang ditarik sudah dianggap masuk ke laut jika badan perahu telah menyentuh air laut.