Welcome My Blog Village


Diskusi Publik Mengenai Pinisi

Sabtu 25 Agustus 2012 bertempat di tanah kelahiran kapal pinisi yakni di desa Ara, kec. Bontobahari, forum pemerhati Ara-Lembanna melaksanakan diskusi publik mengenai pinisi dengan tema “ Pinisi : Sejarah, Budaya, dan Kesejahteraan Masyarakat

leang passea aset besar yang terabaikan

Leang (Gua) Passea di Kampung Ara, Kabupaten Bulukumba, adalah salah satu situs pekuburan kuno di Sulawesi. Di dalamnya, peti-peti mati yang dahulu tergantung di dinding gua, kini berserakan tak karuan bercampur tulang-belulang dan pecahan keramik kuno. .

Monumen Mandala Harusnya di Desa Ara, Bukan di Makassar

Monumen ini sepantasnya berada di Desa ara, pertanyaan selanjutanya kenapa desa Ara dianngap pantas menjadi tempat monumen mandala pembebasan Irian Barat.

KEPMA Ara-Lembanna Tolak Pembangunan Pabrik Peleburan Biji Besi Di Ara

Sejumlah mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam kerukunan pelajar dan mahasiswa Ara-Lembanna melakukan aksi di depan kantor Desa Ara, Kecamatan Bonto Bahari, mereka menenolak pembangunan pabrik peleburan biji besi, hari ini, Senin (9/4/2012)..

Foto-foto Pinisi Karya Orang Ara.

Senin, 27 Juni 2011

Novel Karruq ri Bantilang Pinisi di launcing Di ARA

sampul buku










Penulis bersama Istri dan Kamiluddin (pembicara) bersama istri Di GEMA ARA




Muhannis (penulis
Muhannis Ara, telah melauncing sebuah novel yang berjudul Karruq ri Bantilang Pinisi. Novel berbahasa Makassar itu, dilauncing di Gedung Masyarakat Desa Ara' Kecamatan Bonto Bahari, Bulukumba, Minggu (26/6/2011), pagi tadi

Acara launching novel tersebut dihadiri oleh ratusan masyarakat Ara dan mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) yang sedang mengadakan KKN di daerah itu.

Muhannis Ara mengatakan bahwa novel tersebut telah mulai direncanakan akan ditulis pada saat dia masih duduk di Kelas IV SD. Novel yang menceritakan secara fiksi sebuah pembuatan perahu phinisi yang perajinnya berasal dari Desa Ara, Bonto Bahari.

Selain itu, novel terbitan Ombak Jogjakarta ini, juga berkisah tentang romantika percintaan antara pemuda kampung Ara dan para sahi yang ketika itu sangat ketat dalam memegang keyakinan kulturalnya.

Desa Ara, adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba yang juga tanah kelahiran Muhannis Ara dan desa itu mempunyai catatan penting dalam sejarah bagi warga Bulukumba. Sebab desa itu muncul orang pandai membuat perahu phinisi.

"Saya telah bermimpi menuliskan sejarah Ara dalam bentuk Fiksi sejak kelas 4 SD yaitu tahun 1963 dan nanti tahun 2011 baru bisa terwujud," kata Muhannis Ara, saat melaunching buku itu, yang juga guru SMA Negeri 2 Kabupaten Sinjai.

Diungkapkan pula bahwa novel itu  adalah kali pertama ada buku novel yang menggunakan Bahasa Makassar. Saat launching kemarin, warga setempat sangat mengapresiasi kegiatan tersebut.

Di tempat itu pula  dipentaskan tari Salonreng, tari asli asal tanah komunitas Konjo di Bulukumba. Hadir sebagai pembicara Muhannis sebagai penulis novel, Arif Saenong budayawan yang juga penerima Celebes Award,  Kamiluddin dan Sabrang Manurung, sebagai pemerhati pinisi, Andhika Mappasomba sebagai sastrawan muda asal Bulukumba, serta dan Jafar Palawang yang juga budayawan Bulukumba.

Beberapa waktu lalu Prof Rapi Tang, sebagai Guru Besar di UNM yang mengatakan bahwa Novel tersebut adalah Novel pertama yang berbahasa Makassar.

"Apa yang dilakukan Muhannis adalah sesuatu yang luar biasa bagi Ara itu sendiri dan Sulawesi selatan umummnya. Ini adalah sebuah prestasi dan capaian budaya," katanya yang diungkapkan Muhannis.

Sumber : http://makassar.tribunnews.com/2011/06/26/muhannis-ara-launcing-novel-berbahasa-makassar-di-bulukumba

Minggu, 26 Juni 2011

(karya besar masyarakat ARA Muhannis) Bedah Novel "Karruq ri Bantilang Pinisi" di FAJAR


Masyarakatkan Bahasa Daerah, Tanamkan Budaya ke Generasi Muda

    Tunapaq paleq nakke oteq mangngonjoq linomapparassangang dunnia. Kuerang bangkeng caqdiku mangngagang ri boriq sunggu. Eroq kusombalang lopingku mange ri boriq maraeng, mingka paleq anjo sombalakku, sombalaq niaqmo patanna, guling niaq pattagalaqna.

Muhammad Nursam, Makassar

    Begitulah salah satu potongan kalimat yang dibacakan oleh Muhannis di hadapan para peserta diskusi novel karyanya "Karruq ri Banting Pinisi". Novel yang ditulisnya ini seluruh isinya berbahasa Makassar. Karruq ri Banting Pinisi sendiri berarti tangisan di gubuk pinisi.
    Bedah novel dipandu oleh redaktur FAJAR, Fachruddin Palapa itu selain menghadirkan penulisnya, juga menghadirkan dua pembicara lain. Mereka adalah Dr Ery Iswari, dosen Fakultas Ilmu Budaya Unhas dan Muhammad Nursam Direktur Penerbit Ombak, Yogyakarta. Bedah dan diskusi novel berlangsung di studio mini Harian Fajar Makassar, Sabtu, 25 Juni.
    Muhannis mengatakan, novel yang ditulisnya tersebut merupakan hasil suatu "kecelakaan". Dia sering menjadi juara cerita dan puisi berbahas Makassar namun dia tidak bisa diikutkan lagi karena semua juri khawatir pasti Muhannis lagi yang menang. Selain itu, Muhannis juga pernah berusaha mengirimkannya ke redaksi FAJAR, namun karyanya kepanjangan dan FAJAR tidak membuka lagi halaman untuk cerita bersambung. Maka dia pun berinisiatif mengumpulkan dan menulis tambahan cerita untuk diterbitkan menjadi novel.
    "Dalam novel ini pembaca akan menemukan mantera-mantera. Ini yang menjadi kontradiksi dan perdebatan dalam keluarga saya. Banyak yang tidak sepakat jika saya  menuliskannya dalam bentuk novel. Namun saya berprinsip, sesuatu itu belum pantas disebut ilmu jika disembunyikan. Baru bisa disebut ilmu jika sudah dibagikan ke masyarakat," tutur Muhannis.
     Ery Iswari yang juga telah menerbitkan buku berjudul Perempuan Makassar mengatakan, novel ini memiliki kekuatan. Dimana seluruh penulisannya menggunakan bahasa Makassar. Dengan menggunakan bahasa tersebut menandakan bahwa kita mesti bangga menggunakan bahasa daerah. "Ketika kami menawarkan ke penerbit Ombak, alhamdulillah Pak Nursam menyambutnya dengan sangat antusias," kisahnya.
    Dia juga menjelaskan beberapa filosofi yang terdapat pada sampul buku tersebut. Pada sampul terdapat gambar perahu pinisi. Menurut ketua program pendidikan sastra daerah FIB Unhas ini, pinisi filosofinya adalah petualang. "Jadi laki-laki Bugis-Makassar itu adalah petualang," sebutnya.
    Muhammad Nursam yang diberi kesempatan ketiga berbicara mengungkapkan, sebagai penerbit dia merasa tidak qualify jika harus membahas isi buku yang sarat dengan muatan local wisdom ini. Nursam mengatakan, selama menangani penerbitan dia belum pernah mendapati sebuah buku yang isinya secara keseluruhan menggunakan bahasa daerah. Saat ini buku-buku yang diterbitkan Ombak yang bermuatan Sulsel sudah mencapai 25 judul buku.
    "Waktu saya ditawari saya mengatakan, saya akan tutup mata menerbitkan buku bapak. Bagaimana mungkin kita memahami Indonesia jika kita tidak paham dan tidak punya referensi tentang hal-hal lokal. Kita akan gagap jika buta dengan hal-hal yang berbau lokal," urainya.
    Saat sesi tanya jawab, beberapa peserta mengapresiasi karya tersebut sebagai karya yang luar biasa. Diantara penanya ada Hasnawati Latief, Darwis, dan Mustafa Kufung.
    Hasnawati Latief  mempertanyakan buku ini dari segi komersialisasi dan keberanian penerbit ombak menerbitkan buku yang bermuatan local wisdom. Sementara Mustafa Kufung menilai buku ini akan lebih menarik jika diterbitkan pula seri yang berbahasa Indonesia. Sedangkan Darwis menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan bahasa daerah khususnya ucapan terima kasih yang tak ada dalam bahasa Makassar.
    Menanggapi pertanyaan tersebut, Muhannis menilai bahasa Makassar jika diolah dengan baik akan menjadi ikon yang sangat bagus bagi perkembangan budaya. "Tentang rencana diterjemahkannya ke dalam bahas Indonesia, saya serahkan sepenuhya kepada Bu Ery. Tentang sisi finansial, ini juga menjadi pertanyaan banyak orang. Saya hanya menulis sesuai imajinasi dan ingin mengisi kekosongan karya sastra yang menggunakan bahasa Makassar secara keseluruahan," ungkapnya.
    Nursam dari penerbit ombak mengakui, dari sisi bisnis buku-buku local wisdom yang menjadi ikon penerbitannya memang tidak seksi. "Namun, sejak awal saya berprinsip hidup adalah pilihan. Ini memang bukan pekerjaan yang mudah namun jika ombak tidak berbuat, siapa lagi yang akan melakukannya. Dengan menerbitkan buku-buku local wisdom, ombak tidak akan bangkrut," ujarnya, meyakinkan.
    Bedah novel juga dihadiri beberapa akademisi dan mahasiswa, baik dari Unhas maupun kampus lainnya. Hadir pula salah seorang murid Muhannis yang juga mantan wartawan FAJAR, Saharuddin Ridwan. Dia mengatakan, novel Karruq ri Bantilang merupakan karya seorang Ara Bulukkumba yang lebih Sinjai dari seorang Sinjai asli.
    "Menerbitkan buku bertema lokal bukanlah materi atau hasil penjualan yang menjadi tujuan utama namun, yang terpenting adalah bagaimana kita menenamkan nilai-nilai budaya kepada generasi berikutnya," terang Sahar, bersemangat.  (#)


copy right fajar online