Welcome My Blog Village


Diskusi Publik Mengenai Pinisi

Sabtu 25 Agustus 2012 bertempat di tanah kelahiran kapal pinisi yakni di desa Ara, kec. Bontobahari, forum pemerhati Ara-Lembanna melaksanakan diskusi publik mengenai pinisi dengan tema “ Pinisi : Sejarah, Budaya, dan Kesejahteraan Masyarakat

leang passea aset besar yang terabaikan

Leang (Gua) Passea di Kampung Ara, Kabupaten Bulukumba, adalah salah satu situs pekuburan kuno di Sulawesi. Di dalamnya, peti-peti mati yang dahulu tergantung di dinding gua, kini berserakan tak karuan bercampur tulang-belulang dan pecahan keramik kuno. .

Monumen Mandala Harusnya di Desa Ara, Bukan di Makassar

Monumen ini sepantasnya berada di Desa ara, pertanyaan selanjutanya kenapa desa Ara dianngap pantas menjadi tempat monumen mandala pembebasan Irian Barat.

KEPMA Ara-Lembanna Tolak Pembangunan Pabrik Peleburan Biji Besi Di Ara

Sejumlah mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam kerukunan pelajar dan mahasiswa Ara-Lembanna melakukan aksi di depan kantor Desa Ara, Kecamatan Bonto Bahari, mereka menenolak pembangunan pabrik peleburan biji besi, hari ini, Senin (9/4/2012)..

Foto-foto Pinisi Karya Orang Ara.

Rabu, 10 Agustus 2011

Perahu Phinisi, kebanggaan Indonesia.


Perahu Phinisi merupakan perahu tradisional Indonesia yang sangat terkenal. Perahu tersebut mampu mejelajah lautan luas sampai ke lima benua. Proses pembuatan kapal sampai saat ini masih dilakukan dalam galangan kapal seadanya pokoknya berada di tepi pantai. Tanpa gedung, tanpa bangunan, bangunanpun beratapkan rumbia dan asalkan berada di tepi pantai . Pembuatan perahu ini banyak dilakukan di desa Ara, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.





Tenaga kerja adalah orang-orang kampung yang ilmunya didapat secara turun-temurun. Mula-mula Phinisi di buat di tepi pantai. Pada akhir pembuatan, perahu digeser ke batas laut dangkal dan dalam supaya tidak terjebak di daratan dan sulit untuk diluncurkan.





Bagian-bagian dari kapal phinisi :
1. Anjong, segitiga di depan sebagai penyeimbang.
2. Sombala alias layar utama, berukuran besar mencapai 200 m.
3. Tanpasere layar kecil berbentuk segitiga ada di setiap tiang utama.
4. Cocoro pantara atau layar pembantu ada di depan.
5. Cocoro tangnga alias layar pembantu ada di tengah.
6. Tarengke layar pembantu di belakang.





Kayu untuk membuat perahu yang terbaik adalah kayu bitti (Vitek cofassus). Kayu ini tumbuh di atas batu karang sehingga menghasilkan kayu yang keras dan rapat.Kayu bitti ada 2 macam yakni bitti betina (bitti berumah dua) dan bitti jantan. Bitti betina menghasilakn papan lurus dan lebar. Bitti jantan lebih bagus digunakan untuk membuas lunas perahu karena bengkok, dan perajin tidak perlu membengkokkan kayu. 
Perajin juga menggunakan kayu ulin dan jati (Tectona grandis). Untuk memperkuat (merekat) hubungan antar papan digunakan getah pohon barruk. celah papan ditutup dengan dempul yang berupa campuran kapur dan minyak kelapa yang diaduk selama 12 jam. Menurut ceritera phinisi telah di buat 700 tahun lalu.



Peluncuran perahu phinisi ke laut diawali dengan upacara ammossi. Dalam upacara itu disertai pemotongan seekor kambing bila bobot perahu 100 ton; bobot lebih dari 100 ton, pemotongan seekor sapi. Waktu terbaik untuk meluncurkan kapal saat air pasang dan matahari sedang naik. Sebagai pelaksana utama upacara itu, punggawa alias kepala tukang, duduk di sebelah kiri lunas. Ketika phinisi mengapung di laut, barulah pekerja memasang layar dan tiang.

Kamis, 04 Agustus 2011

pinisi penjajah dunia

Mungkin banyak diantara Juragan yang masih ingat tentang sebuah kapal layar yang terbuat dari kayu dan diberi nama Phinisi Nusantara. Kapal ini memiliki nama yang melegenda dan hampir semua pelaut di tanah air tahu nama ini. Phinisi Nusantara memang telah mencatat pelayarannya yang bersejarah saat berhasil menyeberangi samudera Pasifik untuk menuju Vancouver, Kanada. 

Samudera yang terkenal ganas ini berhasil ditaklukan oleh sebuah kapal yang terbuat dari kayu, Phinisi Nusantara. Meskipun pada awalnya misi pelayaran spektakuler ini banyak diragukan orang, tapi Capt. Gita Ardjakusuma beserta 11 orang awak kapalnya berhasil menyelesaikan tugas ini dengan baik. Rintangan pada jalur pelayaran yang terkenal berbahaya di Samudera Pasifik dapat diatasi dengan baik hingga Phinisi Nusantara merapat dengan selamat di Vancouver.

Itu adalah kisah 23 tahun yang lalu. Misi pelayaran Phinisi Nusantara dirancang guna berpartisipasi pada Expo ’86 yang diselenggarakan di Vancouver, Kanada. Keseluruhan proyek pelayaran ini diprakarsai dan dikelola oleh Yayasan Phinisi Indonesia Raya (YPIR) yang ketuai Laksamana TNI (Purn) Soedomo. Kapal yang memiliki panjang 37 meter dan berbobot 120 ton ini memulai pelayaran bersejarahnya pada tanggal 9 Juli 1986.

Bertolak dari dermaga perikanan Muara baru, Jakarta Utara dengan tujuan Vancouver. Rute pelayaran yang dilalui sungguh berat dengan ombak yang dikabarkan hingga setinggi 7 meter. Jauh lebih tinggi dibanding tiang listrik. Apalagi menurut Capt. Gita, mereka harus berlayar melawan angin.
Setelah menempuh pelayaran sejauh 10.600 mil yang memakan waktu selama 68 hari akhirnya mereka dengan sukses mencapai tujuan, Vancouver.

Di pelabuhan Marine Plaza, kapal beserta awaknya banyak mendapat sambutan dari masyarakat Vancouver. Kabarnya setiap harinya kapal ini dikunjungi tidak kurang dari 3.000 orang pengunjung. Terlebih pada tanggal 21 September 1986, Phinisi Nusantara didatangi 25.000 pengunjung. Kota Vancouver memang meiliki sejarah bahari yang cukup panjang. Bagi mereka, kedatangan Phinisi Nusantara, sebuah kapal kayu dengan reputasi internasional yang berhasil menyeberangi Samudera Pasifik ini benar-benar mendapat perhatian yang penuh antusias. Dikabarkan, kedatangan Phinisi Nusantara di arena Expo ’86 itu dengan serta-merta langsung membuat stand Indonesia yang semula jarang didatangi orang mendadak dipenuhi pengunjung.

Bahkan stand Indonesia mendapat sebuah penghargaan berupa paku rel kereta api yang merupakan simbol peringatan 100 tahun Trans Canada yang menjadi lambang transportasi masa lalu. Penghargaan ini hanya diberikan kepada 3 negara peserta Expo ’86 yang dinilai paling spektakuler. Phinisi Nusantara waktu itu benar-benar melambungkan nama Indonesia di mata Internasional.

Di dunia internasional, perahu Phinisi baru dikenal sejak 1906 silam. Perahu itu adalah bentuk termodern dari kapal tradisional orang Bugis-Makassar yang telah mengalami proses evolusi panjang. Kapal itu dibuat sebagai perahu layar dengan dua tiang dan tujuh hingga delapan helai layar. Pada umumnya perahu ini berukuran kecil dengan daya muat antara 20 hingga 30 ton dan panjang antara 10 hingga 15 meter. Hampir keseluruhan pembuatan perahu dilakukan dengan teknik-teknik sederhana dan mengunakan tenaga mesin yang sangat minim.

Sekarang Kita flashback ke awal sejarah adanya perahu phinisi
Di ujung selatan pulau Sulawesi, masyarakat setempat membangun sebuah tradisi bahari selama ratusan tahun. Cerita-cerita tentang keperkasaan para pelaut Bugis, Makassar, Mandar, dan Konjo telah menjadi buah bibir hingga ke pelosok negeri nun jauh di seberang lautan. Keindahan dan kekokohan perahunya dalam menghadapi keganasan ombak lautan, telah melahirkan cerita-cerita kepahlawanan yang mengagumkan.

normal_0003

Kisah tentang perahu Phinisi dari Tanah Beru dan para pelaut dari Bira, Kabupaten Bulukumba, yang mengemudikannya, kini sudah bukan cerita asing lagi. Namun tak banyak yang mengetahui kehebatan para pelaut dari ujung selatan Sulawesi ini dibangun dari tradisi panjang. Budaya itu didasarkan pada mitos tentang penciptaan perahu pertama oleh nenek moyang mereka.

Alkisah dalam mitologi masyarakat Tanah Beru, nenek moyang mereka menciptakan sebuah perahu yang lebih besar untuk mengarungi lautan, membawa barang-barang dagangan dan menangkap ikan. Saat perahu pertama dibuat, dilayarkanlah perahu di tengah laut. Tapi sebuah musibah terjadi di tengah jalan. Ombak dan badai menghantam perahu dan menghancurkannya. Bagian badan perahu terdampar di Dusun Ara, layarnya mendarat di Tanjung Bira dan isinya mendarat di Tanah Lemo.

silolona1

Peristiwa itu seolah menjadi pesan simbolis bagi masyarakat Desa Ara. Mereka harus mengalahkan lautan dengan kerjasama. Sejak kejadian itu, orang Ara hanya mengkhususkan diri sebagai pembuat perahu. Orang bira yang memperoleh sisa layar perahu mengkhususkan diri belajar perbintangan dan tanda-tanda alam. Sedangkan orang Lemo-lemo adalah pengusaha yang memodali dan menggunakan perahu tersebut. Tradisi pembagian tugas yang telah berlangsung selama bertahun-tahun itu akhirnya berujung pada pembuatan sebuah perahu kayu tradisional yang disebut Phinisi.

phinisi

Kini keyakinan mistis terhadap mitologi kuno itu masih kental dalam setiap proses pembuatan Phinisi. Diawali dengan sebuah ritual kecil, perahu Phinisi dibuat setelah melalui upacara pemotongan lunas. Upacara itu dipimpin seorang pawang perahu yang disebut Panrita Lopi.

Berbagai sesaji menjadi syarat yang tak boleh ditinggalkan dalam upacara ini seperti semua jajanan harus berasa manis dan seekor ayam jago putih yang masih sehat. Jajanan menimbulkan keinginan dari pemilik agar perahunya kelak mendatangkan keuntungan yang tinggi. Sedikit darah dari ayam jago putih ditempelkan ke lunas perahu. Ritual itu sebagai simbol harapan agar tak ada darah tertumpah di atas perahu yang akan dibuat.

Kemudian, kepala tukang memotong kedua ujung lunas dan menyerahkan kepada pemimpin pembuatan perahu. Potongan ujung lunas depan di buang ke laut sebagai tanda agar perahu bisa menyatu dengan ombak di lautan. Sedang potongan lunas belakang di buang ke darat untuk mengingatkan agar sejauh perahu melaut maka dia harus kembali lagi dengan selamat ke daratan. Pada bagian akhir, Panrita Lopi mengumandangkan doa-doa ke hadapan Sang Pencipta.

Bagian-bagian dari kapal phinisi :
1. Anjong, segitiga di depan sebagai penyeimbang.
2. Sombala alias layar utama, berukuran besar mencapai 200 m.
3. Tanpasere layar kecil berbentuk segitiga ada di setiap tiang utama.
4. Cocoro pantara atau layar pembantu ada di depan.
5. Cocoro tangnga alias layar pembantu ada di tengah.
6. Tarengke layar pembantu di belakang.

Berkaitan dengan cerita kapal phinisi ini, pernah ada kekhawatiran dari orang-orang di Bulukumba, Sulawesi Selatan, bahwa rancang bangun kapal phinisi akan didaftarkan hak patennya oleh negara asing. Mengingat sentra-sentra pembuatan perahu atau kapal phinisi yang terbesar di dunia justru terletak diluar Indonesia. Contohnya sentra-sentra itu malah berada di beberapa negara seperti Jepang, Australia, Malaysia dan Brunei. Sebelumnya, Bulukumba sudah terlebih dahulu terkenal sebagai penghasil kapal phinisi dengan kualitas terbaik.

Indonesia dewasa ini memang sedang penuh dengan hiruk pikuk kepentingan dari banyak pihak. Hal-hal yang seharusnya diperhatikan malah jadi diabaikan. Hal-hal yang pernah membuat negeri ini bangga, sekarang sudah dilupakan. Padahal sebagian besar wilayah kita adalah lautan. Tapi justru di lautan kita makin tertinggal. Seperti nasib Phinisi Nusantara yang kini terlunta-lunta meskipun pernah mencetak prestasi yang luar biasa. Dan mungkin sudah banyak orang Indonesia yang tidak ingat lagi lagu “Nenek moyangku orang pelaut”.