Prof.
Van Den Berg dan Prof. Van Dick, adalah dua orang berkebangsaan Belanda
yang merupakan Ahli Hukum Adat, dalam Torinya Receptio In Compleksu,
mengatakan bahwa “Adat suatu daerah adalah merupakan cerminan dari Agama
yang dianutnya”.
Sedangkan Prof. Snouck Hurgronye dalam Teorinya
(Teori Receptie), mengatakan sebaliknya bahwa Agamalah yang harus
mengikut kepada Adat Istiadat. Artinya bahwa Hukum Islam boleh berlaku
manakala tidak bertentangan dengan Adat Istiadat.
Kemudian Teori
tersebut ditentang oleh Prof. Hazairin (Ahli Hukum Adat Indonesia)
dengan mengatakan bahwa Teori Receptie adalah Teori Setan karena
menentang Iman Orang Islam. Yang benar adalah “bahwa Adat Istiadat bisa
berlaku manakala tidak bertentangan dengan Hukum Islam”. Selanjut teori
tersebut dikenal dengan Teori Receptie Acontrario. Sehubungan dengan
hal tersebut, menarik untuk dikaji dan dicermati keberadaan Bajulu dan
balesso sebagai salah satu bahasa komunikasi yang kerapkali dipergunakan
oleh Orang Ara di dalam kehidupan sehari-hari. Banjulu sebagai gaya
bahasa dalam berkomunikasi kadangkala menjadi lebih efektif
dibandingkan dengan menggunakan bahasa yang formal. Namun, juga Banjulu
“Balesso” seringkali menimbulkan fitnah dan kesalah-pahaman di
tengah-tengah masyarakat. Untuk itu penulis mohon izin untuk mengulasnya
dan dan mohon maaf bilamana dalam pembahasan ini terdapat kesalahan
ataupun kekeliruan di dalamnya :
Konsepsi tentang Banjulu dan Balesso
Banjulu (kata sifat) atau A’banjulu (Kata kerja) adalah sesuatu yang
disampaikan dengan cara bercanda, namun tetap pada konteksnya. Misalnya,
Banjulu Rasulullah Muhammad SAW ketika ditanya oleh seorang perempuan
tua (Baca : Nenek-nenek), “Apakah nenek-nenek seperti saya bisa juga
masuk surga?, maka Nabi menjawabnya dengan bercanda (Baca : Banjulu). Oh
tidak, jawab Nabi. Mendengar jawaban Nabi tersebut alangkah sedihnya
perasaan si nenek. Kemudian Nabi mendekati si nenek dan membelainya
dengan penuh kasih sayang, lalu berkata, “Nenek jangan bersedih, betul
memang bahwa nenek-nenek tidak bisa masuk surga, tetapi nenek nanti
tetap bisa masuk surga, hanya saja di Surga Nanti nenek akan kembali
menjadi muda”. Mendengar penjelasan Nabi, maka si nenek yang tadinya
bersedih kembali menjadi Gembira.
Balesso (kata sifat) atau
A’bale-balesso (kata kerja), adalah juga banjulu. Tetapi banjulu yang
satu ini, dalam persfektif budaya (adat istiadat) berkonotasi kurang
sopan dan dapat menimbulkan kesalah-pahaman dan fitnah di tengah-tengah
masyarakat karena; pertama, keluar dari konteks komukasi dan persoalan
yang sedang dibahas. Kedua, disampaikan bukan pada suasana, waktu dan
tempat yang tidak tepat. Misalnya : 1. I anu sebut saja I baso
(Mohon maaf kalau ada nama yang sama, ini hanyalah sebuah contoh).
Lanjut,...... I Baso maengi napakatianang amma’na. Maksudnya : Bukan
menghamili ibunya, tetapi sewaktu I baso masih dalam kandungan, Ibunya
sedang hamil. Banjulu seperti ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman
dan fitnah di masyarakat. Apalagi kalau iBaso yang dimaksudkan tadi
sudah dewasa (sudah layak untuk menikah), dan disampaikan di tempat yang
tidak semestinya. 2. Antere’ngasei mae pajamayya? . Anre’mo pajama,
maeng ngasei’ kulumba. Kata kulumba artinya Kuusir, hanya tepat
digunakan pada binatang. 3. Dll.
Dan,... bale-balesso dalam
pandangan masyarakat Ara adalah merupakan sifat yang tercela. sehingga
orang yang suka a’bale-balesso biasanya dikucilkan dalam pergaulan
sehari-hari.
Banjulu dan Balesso dalam Perfektif Budaya
Prof. Dr. Samin Rajik Nur (Dosen Hukum Adat penulis sewaktu masih
kuliah), dalam kuliahnya di depan Mahasiswa Fak. Hukum Universitas
Kristen Indonesia (UKI Paulus) di Makassar pada tahun 1990 mengatakan,
“Hukum Adat atau Adat Istiadat antara suatu daerah dengan daerah lainnya
adalah sama. Namun ia dibedakan oleh tingkah-laku atau perilaku
adatnya. Selanjutnya Beliau menjelaskan tentang perkembangan adat
istiadat dengan memberikan pengkategorian sebagai berikut : a. Adat yang mengadat : adalah adat istiadat itu sendiri
b. Adat yang diadatkan : adalah kebiasaan masyarakat yang asalnya bukan
adat, namun dilakukan berulang kali dan berulang-ulang karena dianggap
baik, praktis dan menguntungkan maka kebiasaan itu pun menjadi sesuatu
yang diadatkan. Contohnya Ujung Kaju dalam belanja perkawinan di Ara
yang baru dikenal pada sekitar antara tahun 80 an – 90 an dan masih
berlaku hingga sekarang. c. Adat yang mengapas : adalah adat
istiadat yang ditinggalkan secara perlahan-lahan oleh masyarakat karena
mungkin dianggap memberatkan.
Sehubungan dengan itu, banjulu
“balesso” dalam kehidupan masyarakat Ara (Desa Ara dan Desa Lembanna)
adalah suatu kebiasaan yang nampaknya menjadi sesuatu yang diadatkan.
Entah itu sesuai atau bertentangan dengan nilai-nilai budaya
masyarakatnya atau juga bahkan terhadap Islam sebagai agama yang dianut
oleh Orang Ara. Bagi Orang Ara, mungkin Banjulu adalah sesuatu yang
“PARALLU NIPAKA BAKKA”. Entah karena alasan sebagai OBAT AWET MUDA, atau
mungkin karena dianggap........... silahkan tambahkan sendiri!.
Banjulu dan Balesso dalam Perfektif Agama
Prof. Dr. H.Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan
panggilan HAMKA atau Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul Falsafah
Hidup pada halaman 131 mengatakan
“ ......lain dari pada itu
disuruh pula menjaga lidah di dalam bertutur kata. Jangan sampai tutur
kata menyinggung perasaan orang lain, hendaklah lidah itu dikendalikan
dengan akal, tegak ditentang kesopanan dan kebaktian, jangan lidah
dilepaskan saja kalau tidak akan memberikan manfaat dunia akhirat,
karena segala yang keluar dari lidah akan dihitung kelak sekali sekali
lagi di muka Qadhi Yang Maha Adil, Tuhan sendiri. Berkatalah terus
terang diwaktu membela kebenaran, tetapi janganlah dilupakan laku
hormat, jangan dikotori lidah dengan maki dan cercaan.”
Terkait
dengan banjulu “balesso, simaklah firman berfirman Allah SWT dalam
Surat AL- ISRAA ayat 53 yang artinya sebagai berikut :
Dan
katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: " Hendaklah mereka bertutur yang
sebaik-baiknya (benar). Karena sesungguhnya syaitan selalu memperdayakan
di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi
manusia. (AL ISRAA ayat 53).
Serta sabda Rasulullah Muhammad SAW sebagaimana haditsnya berikut ini :
“Bahagialah orang yang berbimbang dengan aib celanya sendiri, dan tidak
mempedulikan aib orang lain; dinafkannya kelebihan hartanya, ditahannya
kelebihan cakapnya, luas hatinya di dalam mengerjakan sunnah dan tidak
dia membelok kepada bid’ah”.
Selanjutnya dalam Kitab Ihya
Ulumuddin Imam Al-Ghazali menulis, “ Umar Bin Khattab berkata, barang
siapa banyak tertawa pasti kurang wibawa, dan barang siapa senang
bersenda gurau pasti diremehkan”.
Simpulan : 1. Banjulu sebagai strategi dalam berkomunikasi mestilah disederhanakan, jangan dilebih-lebihkan.
2. Budaya (adat istiadat) yang bertentangan dengan syariat bolehlah
ditinggalkan, kalau pun terasa berat buatlah dia sebagai adat yang
mengapas sehingga nantinya dia pun akan hilang, tergerus oleh jaman dan
waktu yang terus berputar.
Saran : Agar Budaya (bakat
Banjulu) dapat tersalurkan sebagaimana mestinya, maka barangkali dan
sudah saatnya di Ara dibuatkan SANGGAR SENI atau mungkin dengan nama
lain misanya GROUP KOMEDI sehingga saudara-saudara kita yang memiliki
bakat banjulu tidak terjerumus ke dalam kubangan nista karena dosa
syirik sehingga banjulu “balesso tidak lantas menjadi bualan yang
menyesatkan dan mematikan hati.
Terakhir, sekali lagi penulis
mohon maaf kepada para Ahli Budaya, Ahli Bahasa atau bahkan Ahli Etika
dan para ahli-ahli lainnya, tidak ada maksud untuk menggurui. Tulisan
ini saya buat hanya sekedar menyampaikan apa yang saya ketahui,
sekiranya terdapat kebenaran di dalamnya bolehlah diambil sebagai
kenang-kenangan karena itu semua datangnya dari Sang Pemilik Ilmu,
Allah. Begitu juga jika sekiranya di dalam tulisan ini terdapat
kata-kata yang kurang berkenan, tidak ada maksud atau niat senoktah pun
untuk menyinggung apa tah lagi menyakiti. Semua saya lakukan hanya
karena dorongan kecintaan terhadap Desa Kelahiran saya “ARA”, meskipun
dalam kapasitas yang terbatas. Tetapi paling tidak saya telah mekakukan
sesuatu.
Dan teristimewa kepada Adinda Nyoman (maksudnya
Hasriadi) sudilah kiranya memaafkan kakanda yang telah lancang menegur
dengan kata-kata yang kurang berkenan sehingga menjadi sebuah
ketersinggungan. Sesungguhnya tiada maksud di hati untuk melakukan itu,
tetapi entah mengapa kata-kata itu meluncur begitu saja.
Tetapi
yang pasti bahwa apa yang saya sampaikan setidaknya mengandung
pembelajaran bagi diri saya pribadi dan bagi orang yang memiliki
keinginan untuk menjadi lebih baik. Wallahu A’lam Bissawab. Makassar, 25 Maret 2013 Salam. Penulis
0 komentar:
Posting Komentar