oleh : Muhammad Nursam, Makassar
| Muhannis | 
“...Saya
 hanya menulis sesuai imajinasi dan ingin mengisi kekosongan karya 
sastra yang menggunakan bahasa Makassar:” (Muhammad Nursam, Makassar).
Kalimat
 itu disampaikan Muhannis usai bedah buku terbarunya, Karruq Ri 
Bantilang Pinisi di redaksi FAJAR pekan lalu. Pria yang telah 
mempelajari sastra daerah sejak kecil karena tertarik dengan bahasa 
tertua di kampungnya.
Dia berkasih dulu, semasa kecilnya, dia mengira 
bahasa tertua tersebut sama dengan puisi yang diajarkan oleh gurunya di 
sekolah, hanya berbeda bahasa saja. Karena kecintaannya pada bahasa 
tersebut diapun berusaha mempelajari dan mengumpulkan naskah-naskah kuno
 dari kakek dan neneknya. Bahkan, banyak naskah-naskah keluarganya yang 
dia hafal namun semuanya telah hancur. Hal tersebut memicunya untuk 
memicu batinnya untuk mengolah bahasa daerah  menjadi karya sastra.
 Sepak terjangnya di dunia sastra khususnya karya sastra berbahasa Makassar telah mengantarnya mereaih beragam penghargaan.
Atas
 kecintaannya pda naskah kuno, Balai Arsip Nasional Makassar pernah 
memberikan piagam penghargaan pada dedikasinya menyelamatkan 
naskah-naskah kuno. Ia juga pernah menerima penghargaan Celebes Award 
dari Gubernur SulSel.
Muhannis mengisahkan, 
dia dan dua rekannya, Sakkaruddin dan Demmanyimba, ‘menggeledah’ 
kampung, menelusuri dan mencari naskah-naskah kuno yang masih tersisa. 
Hasilnya, kata dia, terkumpullah lebih dari 100 naskah kuno Ara yang 
sempat diselamatkan yang sebagian menjadi bahan penulisan novel “Karruq 
ri Bantilang Pinisi”.
“Untuk menyelamatkan 
naskah itu, saya kemudian mengundang Balai Arsip Nasional ke Ara dan 
membuat micro film seluruh naskah temuan kami beberapa tahun lalu. Dr. 
Mukhlis Paeni memimpin langsung penyelamatan itu. Bersama tim, dia 
bahkan harus datang ke Ara dua kali untuk menyelesaikan tugas 
penyelamatan itu. Dan kami yakin masih banyak naskah yang belum 
ditemukan”, terang Kepala SMAN I Sinjai Timur ini.
Dalam
 penciptaan karya sastra,hasil karya tangan putra dari pasangan Maggauq 
Daeng Gau dan Jaenong Daeng Sinnong ini selalu ditampilkan pada berbagai
 even dan pertunjukan. Di bidang lomba, suami dari Dra. Suhaebah ini 
menjadi juara cipta puisi daerah se-SulSel selama tiga tahun 
berturut-turut (2005,2006 dan 2007). Berbagai karya seninya telah 
dipentaskan dari tingkat desa hingga tingkat internasional.
Menariknya,
 pria kelahiran Bulukumba 5 Juni 1959 ini ternyata menyelesaikan 
pendidikan formalnya di jurusan Bahasa Jerman IKIP Ujung Pandang 
(sekaran UNM) pada 1985. Dengan segala ketekunannya menulis berbagai 
artikel budaya dan karya seni serta mendalami kehidupan komunitas 
tradisional di SulSel berbuah penghargaan sebagai penerima Celebes Award
 Bidang Kebudayaan dari Gubernur SulSel pada tahun 2005.
Muhannis
 menilai, bahasa Makassar jika diolah dengan baik akan menjadi ikon yang
 sangt bagus bagi perkembangan budaya. “Tentang sisi finansial, ini juga
 menjadi pertanyaan banyak orang. Saya hanya menulis sesuai imajinasi 
dan ingin mengisi kekosongan karya sastra yang menggunakan bahasa 
Makassar secara keseluruhan,” ungkapnya.
Kita
 berharap, akan tetap hadir Muhannis-Muhannis yang berinisiatif 
menyelamatkan naskah-naskah kuno dan cinta akan budaya dan bahasa 
daerahnya.(*).
Sumber : http://bulukumbatourism.blogspot.com/2011/07/muhannis-penyelamat-naskah-kuno-arazz.html 






0 komentar:
Posting Komentar