Welcome My Blog Village


Minggu, 26 Juni 2011

(karya besar masyarakat ARA Muhannis) Bedah Novel "Karruq ri Bantilang Pinisi" di FAJAR


Masyarakatkan Bahasa Daerah, Tanamkan Budaya ke Generasi Muda

    Tunapaq paleq nakke oteq mangngonjoq linomapparassangang dunnia. Kuerang bangkeng caqdiku mangngagang ri boriq sunggu. Eroq kusombalang lopingku mange ri boriq maraeng, mingka paleq anjo sombalakku, sombalaq niaqmo patanna, guling niaq pattagalaqna.

Muhammad Nursam, Makassar

    Begitulah salah satu potongan kalimat yang dibacakan oleh Muhannis di hadapan para peserta diskusi novel karyanya "Karruq ri Banting Pinisi". Novel yang ditulisnya ini seluruh isinya berbahasa Makassar. Karruq ri Banting Pinisi sendiri berarti tangisan di gubuk pinisi.
    Bedah novel dipandu oleh redaktur FAJAR, Fachruddin Palapa itu selain menghadirkan penulisnya, juga menghadirkan dua pembicara lain. Mereka adalah Dr Ery Iswari, dosen Fakultas Ilmu Budaya Unhas dan Muhammad Nursam Direktur Penerbit Ombak, Yogyakarta. Bedah dan diskusi novel berlangsung di studio mini Harian Fajar Makassar, Sabtu, 25 Juni.
    Muhannis mengatakan, novel yang ditulisnya tersebut merupakan hasil suatu "kecelakaan". Dia sering menjadi juara cerita dan puisi berbahas Makassar namun dia tidak bisa diikutkan lagi karena semua juri khawatir pasti Muhannis lagi yang menang. Selain itu, Muhannis juga pernah berusaha mengirimkannya ke redaksi FAJAR, namun karyanya kepanjangan dan FAJAR tidak membuka lagi halaman untuk cerita bersambung. Maka dia pun berinisiatif mengumpulkan dan menulis tambahan cerita untuk diterbitkan menjadi novel.
    "Dalam novel ini pembaca akan menemukan mantera-mantera. Ini yang menjadi kontradiksi dan perdebatan dalam keluarga saya. Banyak yang tidak sepakat jika saya  menuliskannya dalam bentuk novel. Namun saya berprinsip, sesuatu itu belum pantas disebut ilmu jika disembunyikan. Baru bisa disebut ilmu jika sudah dibagikan ke masyarakat," tutur Muhannis.
     Ery Iswari yang juga telah menerbitkan buku berjudul Perempuan Makassar mengatakan, novel ini memiliki kekuatan. Dimana seluruh penulisannya menggunakan bahasa Makassar. Dengan menggunakan bahasa tersebut menandakan bahwa kita mesti bangga menggunakan bahasa daerah. "Ketika kami menawarkan ke penerbit Ombak, alhamdulillah Pak Nursam menyambutnya dengan sangat antusias," kisahnya.
    Dia juga menjelaskan beberapa filosofi yang terdapat pada sampul buku tersebut. Pada sampul terdapat gambar perahu pinisi. Menurut ketua program pendidikan sastra daerah FIB Unhas ini, pinisi filosofinya adalah petualang. "Jadi laki-laki Bugis-Makassar itu adalah petualang," sebutnya.
    Muhammad Nursam yang diberi kesempatan ketiga berbicara mengungkapkan, sebagai penerbit dia merasa tidak qualify jika harus membahas isi buku yang sarat dengan muatan local wisdom ini. Nursam mengatakan, selama menangani penerbitan dia belum pernah mendapati sebuah buku yang isinya secara keseluruhan menggunakan bahasa daerah. Saat ini buku-buku yang diterbitkan Ombak yang bermuatan Sulsel sudah mencapai 25 judul buku.
    "Waktu saya ditawari saya mengatakan, saya akan tutup mata menerbitkan buku bapak. Bagaimana mungkin kita memahami Indonesia jika kita tidak paham dan tidak punya referensi tentang hal-hal lokal. Kita akan gagap jika buta dengan hal-hal yang berbau lokal," urainya.
    Saat sesi tanya jawab, beberapa peserta mengapresiasi karya tersebut sebagai karya yang luar biasa. Diantara penanya ada Hasnawati Latief, Darwis, dan Mustafa Kufung.
    Hasnawati Latief  mempertanyakan buku ini dari segi komersialisasi dan keberanian penerbit ombak menerbitkan buku yang bermuatan local wisdom. Sementara Mustafa Kufung menilai buku ini akan lebih menarik jika diterbitkan pula seri yang berbahasa Indonesia. Sedangkan Darwis menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan bahasa daerah khususnya ucapan terima kasih yang tak ada dalam bahasa Makassar.
    Menanggapi pertanyaan tersebut, Muhannis menilai bahasa Makassar jika diolah dengan baik akan menjadi ikon yang sangat bagus bagi perkembangan budaya. "Tentang rencana diterjemahkannya ke dalam bahas Indonesia, saya serahkan sepenuhya kepada Bu Ery. Tentang sisi finansial, ini juga menjadi pertanyaan banyak orang. Saya hanya menulis sesuai imajinasi dan ingin mengisi kekosongan karya sastra yang menggunakan bahasa Makassar secara keseluruahan," ungkapnya.
    Nursam dari penerbit ombak mengakui, dari sisi bisnis buku-buku local wisdom yang menjadi ikon penerbitannya memang tidak seksi. "Namun, sejak awal saya berprinsip hidup adalah pilihan. Ini memang bukan pekerjaan yang mudah namun jika ombak tidak berbuat, siapa lagi yang akan melakukannya. Dengan menerbitkan buku-buku local wisdom, ombak tidak akan bangkrut," ujarnya, meyakinkan.
    Bedah novel juga dihadiri beberapa akademisi dan mahasiswa, baik dari Unhas maupun kampus lainnya. Hadir pula salah seorang murid Muhannis yang juga mantan wartawan FAJAR, Saharuddin Ridwan. Dia mengatakan, novel Karruq ri Bantilang merupakan karya seorang Ara Bulukkumba yang lebih Sinjai dari seorang Sinjai asli.
    "Menerbitkan buku bertema lokal bukanlah materi atau hasil penjualan yang menjadi tujuan utama namun, yang terpenting adalah bagaimana kita menenamkan nilai-nilai budaya kepada generasi berikutnya," terang Sahar, bersemangat.  (#)


copy right fajar online

0 komentar:

Posting Komentar