Welcome My Blog Village


Rabu, 01 September 2010

Kapal Besar dari Desa Kecil (ARA)

 
 Seorang punggawa kapal pinisi di salah satu galangan di Tanah Beru Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, menggunakan pahat dan palu untuk membentuk tulang lambung pinisi. Dalam pembuatan pinisi, setelah membuat lunas maka para pengguwa akan membuat dinding lambung kapal, baru kemudian membuat tulang lambung untuk memperkuat dinding lambung yang sudah dibuat. 

Oleh: Genthong, Aryo Wisanggeni
 
Jika melihat kehebatan kapal layar tradisional pinisi yang memiliki daya muat ratusan ton dan kemampuan jelajah hingga ke benua Afrika, mungkin saja kita tak menyangka kalau kapal tersebut dibuat oleh warga di sebuah desa kecil di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Cara membangunnya pun sangat orisinil dan unik, dimulai dari menyusun kulit lalu membuat kerangka kapal.
Tempat pembuatan kapal pinisi berada di semenanjung Bira, yakni di desa Ara, Lemo-lemo, dan Bira. Warga di desa tersebut sudah turun temurun menguasai pembuatan kapal tradisional. Ribuan kapal kayu yang kerap bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta, Kalimas Surabaya atau pun di pelabuhan rakyat di Indonesia, bahkan dibuat dengan teknik pembuatan pinisi yang harus mendapat sentuhan orang dari Semenanjung Bira.
Konon, ilmu membuat kapal sudah diturunkan kepada warga tiga desa di Semenanjung Bira tersebut dari bangsawan Bugis-Makassar, Sawerigading. Syahdan, kapal yang digunakan Sawerigading -tokoh sentral mitologi Sulawesi Selatan- pecah digulung laut. Kemudian lambung kapal itu terdampar di Desa Ara. Haluan dan buritannya terdampar di Desa Lemo-lemo. Lunas, kemudi, dan layarnya terdampar di Desa Bira. Dari pecahan itu, mengalirlah ilmu membuat kapal pinisi
“Jadi sebodoh-bodohnya orang Bira jika berada di atas kapal pasti pintar. Orang Bira mendapat pusaka layar dan kemudi sehingga menjadi pelaut hebat. Sepintar-pintarnya orang membuat lambung, tidak akan lebih bagus pekerjaannya daripada lambung buatan orang Ara. Kami orang Lemo-lemo membuat haluan dan buritan, meski sekarang kami juga menjadi pelaut,” kata seorang pemilik galangan kapal, Haji Abdullah (49) yang menuturkan kembali mitologi itu di galangannya yang berada di Pantai Tanah Lemo, pesisir barat Semenanjung Bira, sekitar 23 km arah tenggara dari ibukota Kabupaten Bulukumba.
Mitologi itu menuntun jalan hidup orang Ara, Lemo-lemo, dan Bira. Seorang Lemo-lemo seperti Yusman (17) telah meninggalkan sekolahnya, dan kini belajar menjadi punggawa atau pembuat pinisi. Ia magang mengikuti pamannya, Baso (35), kepala punggawa di galangan Abdullah. “Saya tinggalkan sekolah sejak kelas 4 SD,” tutur Yusman sambil menaruh potongan kayu kandole di pelataran galangan, di antara hamparan serbuk dan serpihan kayu di belakang buritan pinisi garapan Abdullah. 
Parangnya membelah kayu itu, membentuknya menjadi pasak-pasak berdiameter 3 cm. Pasak-pasak Yusman akan merangkai papan kayu membentuk lambung kapal pinisi sepanjang 37,5 meter. Yusman bekerja dalam diam, mengikuti irama suara ombak yang bersahutan dengan dengungan ketam listrik, mesin amplas, dentam pahat beradu palu. Baso tersenyum memandangi Yusman. “Sekarang ia hanya boleh membuat pasak, menyiapkan kabel dan alat pertukangan, juga menyimpannya. Namun akan ada waktunya bagi Yusman untuk ikut menggarap kapal,” tutur Baso.
Ketekunan Yusman membuat pasak demi pasak itulah yang akan melanjutkan tradisi orang Semenanjung Bira sebagai pembuat perahu pinisi. Di tangan mereka, kapal kayu dengan dua tiang berikut tujuh layar itu bukan sekedar teks sejarah, meski legenda pinisi memiliki catatan panjang. 
Sumber : http://regional.kompas.com/read/2010/02/08/11434564/Getaran.Gempa.di.Museum.Merapi

0 komentar:

Posting Komentar