Kematian tiga bocah warga Dusun Lambua dan Dusun Pompantu, Desa
Lembanna, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, akibat penyakit Demam
Berdarah Dangue (DBD) dalam sebulan terakhir, ternyata tidak diketahui Dinas
Kesehatan (Dinkes) Bulukumba.
Tiga korban meninggal itu adalah Indi (3,5), warga Dusun Pompantu. Indi meninggal di RSUD Andi Sultan Daeng Radja, Sabtu (22/12). Dua korban lainnya, Yogi (5), warga Dusun Pompantu dan Kajang (4,5) (bukan Melly seperti diberitakan sebelumnya) warga Dusun Lambua, meninggal beberapa waktu lalu. |
Informasi meninggalnya tiga bocah ini dilaporkan Ketua Kerukunan
Pelajar dan Mahasiswa Desa Ara-Lembanna (Kepma), Sudirjaya, akhir pekan lalu.
Kepada Tribun, Sudirjaya menyesalkan dinas kesehatan yang lamban menangani penyebaran
penyakit DBD sehingga menyebabkan korban meninggal.
Dia juga mempertanyakan pungutan sebesar Rp 20 ribu per rumah jika rumah warga ingin penyemprotan, yang dibebankan petugas fogging. Kepala Dinas Kesehatan Bulukumba, Rusni Sjufran, yang dikonfirmasi, Minggu (23/12), mengatakan, belum menerima laporan dari Puskesmas Bonto Bahari jika dalam satu bulan ini, sudah tiga warga Desa Lembanna meninggal akibat gigitan nyamuk Aedes Aegypty ini. "Saya belum mendapat laporan mengenai hal itu. Kalau benar sudah tiga yang meninggal, maka kami akan mengeceknya apakah mereka meninggal murni karena DBD atau karena komplikasi dengan penyakit lain," jelasnya. Namun, sekitar sejam kemudian Rusni Sjufran mengontak Tribun dan mengatakan Puskesmas Bonto Bahari tidak mengetahui adanya warga yang meninggal akibat DBD. Menurutnya, jika memang ada warga yang meninggal karena DBD, berarti mereka tidak pernah dibawa ke puskesmas untuk mendapat perawatan. "Saya sudah menelepon Kepala Puskesmas Bonto Bahari, Nurbaya, namun ia juga tidak mengetahui adanya warga yang meninggal akibat penyakit ini. Saya sudah memerintahkan dia mencari alamat rumah ketiga korban itu dan mengecek kebenarannya," ujarnya. Ia menambahkan, Desa Lembanna sudah pernah di-fogging sekali. Jika penyebaran penyakit ini di desa tersebut sudah pada tahap mengkhawatirkan, seharusnya masyarakat melapor ke puskesmas agar dilakukan tindakan pencegahan. Dikatakan, fogging (pengasapan) adalah jalan terakhir yang dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit DBD. Namun, tidak tiap saat dinkes bisa melakukan fogging di seluruh pemukiman penduduk. Fogging baru dilakukan jika dinkes menerima laporan dari warga mengenai adanya penyebaran DBD di suatu pemukiman. Dinkes sama sekali tidak memungut biaya fogging. "Oknum yang meminta bayaran Rp 20 ribu per rumah mungkin dari pihak swasta. Dinkes sudah pernah melarang pihak swasta melakukan fogging di rumah-rumah warga jika meminta bayaran," jelasnya. (Tribun) |
0 komentar:
Posting Komentar