|
Mulut Leang Passea dan jalan menuju Leang Passea |
oleh Nirwan Mahasiswa Unhas Asal Ara
Tak semua masyarakat Ara-Lembanna mengetahui keberadaan leang passea (biasa disebut gua passea) yang berada di desa Lembanna tepatnya di ujung Kaddaro dan ada pula yang mengetahui tapi mereka belum pernah kesana.
Tepatnya pada hari Jumat 4 mei 2012 saya pun kesana dengan teman saya, kondisinya sekarang sangat memprihatinkan. Untuk akses kesana saja kita harus berjalan kaki dengan semak belukar (orang ara biasa mengatakan a horongi tigi-tigia). cerita-cerita manis dari orang-orang tua Ara yang mengatakan didalam leang tersebut kita bisa mememukan banyak sekali barang-barang kuno, tapi sekarang sudah sangat susah didapatkan. Kondisi didalam pun sudah tidak ter urus lagi, ini terbukti dengan berserakannya peti-peti mayat didalam. setelah saya bercerita dengan salah satu penduduk kaddaro, dia mengatakan bahwa terakhir 7 tahun yang lalu Leang Passea masih ada penjaganya setelah dia mati maka tidak ada lagi penggantinya, selain itu kita masih bisa menemukan banyak sekali barang-barang kuno seperti piring, koing kuno dan guci-guci.
Dia pun menuturkan bahwa banyak masyarakat luar dan masyarakat Ara sendiri kesana mengambil barang-barang kuno lalu menjualnya.Ini sungguh sangat tragis karena telah menyianyiakan aset yang sangat besar serta merusak aset purbkala.
kejadian ini tidak terlepas karena kurangnya perhatian khususnya pemerintaah desa Lembanna sebagai penanggung jawab pada daerah administratif Leang Passea dan pada umumnya kurangnya perhatian pemerintah kabupaten Bulukumba.
Padahal Leang Passea bisa di jadikan sebagai tempat wisata purbakala yang dapat menambah penghasilan.daerah dan membuka lapangan pekerjaan. selain itu membantu melestarikan benda-benda kuno. Selama ini pemerintah kurang sosialisai atau pengenalan Leang Passea ke luar. Salah satu buktinya Leang Passea tidak terdaftar di situs resmi dinas pariwisata bulukumba sebagai objek wisata yang ada di Kabupaten Bulukumba.
yang tambah menyedihkan saya mendapat sebuah tulisan (penelitian) Asfriyanto di panyingkul.com (jurnalisme orang biasa) yang pernah berkunjung ke Leang Passea pada tahun 2007 bulan Mei. Dia menuliskan masalah yang ada di Leang Passea masih sama dari tahun 2007 sampai sekarang. Ini juga salah satu bukti yang menguatkan bahwa pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten sangat tidak memperhatikan Leang Passea.
berikut tulisan Asfriyanto
|
Jalan menuju Leang Passea dipenuhi semak belukar. Foto: Yadi Mulyadi. |
Leang (Gua) Passea di Kampung Ara, Kabupaten Bulukumba,
adalah salah satu situs pekuburan kuno di Sulawesi. Di dalamnya, peti-peti mati
yang dahulu tergantung di dinding gua, kini berserakan tak karuan bercampur
tulang-belulang dan pecahan keramik kuno. Petugas kepurbakalaan yang menjaga
tempat itu sudah meninggal dua tahun lalu, dan hingga kini belum ada
penggantinya. Padahal, gua ini erat kaitannya dengan sejarah panjang orang Ara,
sebagaimana dilaporkan citizen reporter Asfriyanto.(p!)
“Pakailah baju yang berlengan panjang, juga celana panjang. Jangan lupa
bawa air minum,” ujar Abdul Hakim (70). “Jalan ke sana sudah penuh semak.”
Saya pun mengiyakan, walaupun sedikit kecewa karena lelaki tua itu tidak akan
ikut menemani rombongan kami. “Perintah” itu terbukti benar belaka, setelah
kami menyusuri ujung jalan kampung Ara yang berbatu, melewati semak berduri
yang merintang jalan – meninggalkan gerus di kulit yang terasa perih ketika bercampur
keringat yang dipanggang sinar matahari. Karenanya, ketika sampai di Gua
Passea, satu jam kemudian, sisa air minum di botol mineral itu pun tandas
sudah.
Gua Passea dalam kamus speleologi dikategorikan sebagai gua vertikal, yang
berarti mulut gua tepat berada di permukaan tanah. Karena itu, menemukan gua
ini gampang-gampang susah sebab mulut gua tidak kelihatan. Bagi yang telah
terbiasa menuju ke sana, rimbunan kayu bitti yang tampak mencolok dari
hamparan kerumunan resam, menjadi penuntun alami. Sebab, pohon besar itu tepat
tumbuh di mulut gua.
Gua itu menjadi begitu menarik bagi para peneliti, sebab selain mengambarkan
karakterisitik gua pantai yang sangat jarang ditemukan, perut Gua Passea juga
menyimpan misteri kebudayaan orang-orang Ara di masa lalu. Di dalam gua,
setelah menuruni tangga alami sedalam lima meter, terbentanglah dunia lain –
dunia bawah tanah, sekaligus dunia mitis orang-orang Ara. Betapa tidak, di
antara kerlip stalagtit dan stalagmit, jejeran peti-peti mati serta
tulang-belulang yang bercampur-baur dengan pecahan keramik kuno terhampar
begitu saja di lantai gua.
Nama Passea sendiri berarti kepiluan, mungkin merujuk pada istana orang-orang
mati. Dua tahun lalu, ketika saya pertama kali ke gua ini, kondisinya tidaklah
seseram dan separah itu. Permukaaan gua yang dahulunya rapi, sekarang sudah
terbongkar dan teraduk di sana-sini. Konon banyak paccucuk (para pencari
keramik kuno) yang membongkar permukaan lantai gua untuk mencari saladong
(keramik kuno, Celadon) yang mungkin masih tersimpan. Tutup peti mati yang
berbentuk perahu dengan ukiran yang indah itu pun sudah banyak yang hilang,
konon diperjualbelikan untuk suvenir bagi para wisatawan yang berkunjung ke Ara
ketika memesan perahu. Karena itu, saya pun menjadi paham mengapa jumlah peti
kubur saat ini tinggal tiga buah, semuanya dalam keadaan rusak parah.
Ada tiga peti
mati yang tersisa di Leang Passea.
Foto:
Yadi Mulyadi.
Seorang paccucuk asal Bantaeng, Ridwan (32), yang tidak sengaja bertemu dengan
rombongan kami mengakui, ia sengaja datang menelusuri kawasan gua-gua pantai di
sepanjang pesisir timur Bulukumba untuk mecari saladong. “Tapi tidak pernah
saya ke Passea, Pak, karamakki,” ujarnya.
Walaupun dia berkelit, namun laiknya observasi para sarjana arkelogi, saya pun
tahu, para paccucuk itu kerap menggunakan tempat keramat sebagai daerah
operasi. Justru karena tersimpan sesuatu yang berharga, tempat-tempat tertentu
sengaja dikeramatkan. Buktinya, Ridwan juga mengakui bahwa “Di Tujua Bantaeng,
saya pernah dapat saladong tiga pasang, dijual dua juta satu biji di Makassar”.
Diduga, selain akibat perbuatan paccucuk, hancurnya situs penguburan kuno di
Ara tidak telepas dari kisah DI/TII Kahar Muzakkar yang meluas ke daerah Ara
pada awal tahun 1960-an. Abdul Hakim, yang di tuakan di Kampung Ara,
menuturkan, “Dulu peti-peti itu digantung di dinding gua. Tapi mereka putuskan
talinya. Banyak yang pecah. Dan masyarakat dilarang lagi baca-baca ke sana”.
Praktis sejak saat itu, bahkan sampai saat ini, keberadaan Leang Passea dan
segala bukti sejarah yang ada di dalamnya, hanya diketahui oleh segelintir
orang tua dan para paccucuk saja.
Bagi Abdul Hakim, keberadaan peti kubur di gua itu melengkapi sejarah budaya
Ara yang panjang. Ia menduga sejarah nenek moyang mereka berasal dari gua
tersebut. Namun bagi para ahli arkeologi, keberadaan peti kubur itu membuka
tabir yang lebih luas lagi, yakni sejarah kebudayaan orang-orang Sulawesi
Selatan awal. Pasalnya, jejak tradisi penguburan dalam gua umumnya ditemukan di
kampung-kampung yang memiliki banyak mitologi pra-Islam. Mitologi ini kental
dengan sisa-sisa praktik kebudayaan orang-orang Austronesia yang dipercaya
pernah melakukan migrasi dari daratan Asia pada 3000 tahun yang lalu.
Namun bukti untuk mengaitkan tradisi penguburan di Passea dengan bentuk
penguburan serupa seperti di Tana Toraja, Kalumpang dan Malili, masih
memerlukan penelitian lebih dalam. Selain itu, tidak ada pula yang tahu pasti,
kapan tradisi penguburan dalam gua tersebut terhenti. “Mungkin ketika masuknya
agama Islam yang disebarkan oleh Datok Tiro pada abad ke-17,” ujar Hasanuddin
(45), salah seorang arkeolog. Pendapat itu mungkin ada benarnya, sebab jarak
antara Kampung Ara dan Kampung Tiro – tempat Datok Tiro mengembangkan syiar
Islam – tidaklah terlalu jauh.
Leang Passea sebenarnya sudah terdaftar dalam situs-situs purba yang di
lindungi oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar. Namun sangat
disayangkan, dua tahun lalu juru pelihara yang menjaga tempat tersebut telah
meninggal dunia dan sampai saat ini belum ada penggantinya. “Semakin rusak mi
itu, Pak. Apalagi banyak bule yang kalau pesan kapal ke Ara, kalau dia tahu ada
barang-barang kuno, biasanya juga ingin membeli,” jelas Abdul Hakim.
Saat ini Abdul Hakim berpacu dengan waktu, menyelamatkan kepingan sejarah
orang-orang Ara yang masih tersisa. Karena itu sejak tahun 2006, ia menyusun
buku tentang pembuatan perahu pinisi dan sejarah orang Ara.
Tentang Gua Passea, ia punya keluhan. “Banyak peneliti yang datang ke Passea,
tapi tulisan-tulisan tentang gua itu tidak satu pun yang ditinggalkan pada kami
di sini,” katanya. Mendengar hal itu, hati saya menjadi kecut dan tiba-tiba
saja merasa menjadi terdakwa. Jangan-jangan paccucuk dan saya ternyata tidak
jauh berbeda.(p!)
*Citizen reporter Asfriyanto dapat dihubungi melalui email
asfriyanto@yahoo.co.id