Seorang punggawa kapal pinisi di salah satu galangan di Tanah Beru
Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, menggunakan pahat dan palu
untuk membentuk tulang lambung pinisi. Dalam pembuatan pinisi, setelah
membuat lunas maka para pengguwa akan membuat dinding lambung kapal,
baru kemudian membuat tulang lambung untuk memperkuat dinding lambung
yang sudah dibuat.
Oleh: Genthong, Aryo Wisanggeni
Jika melihat kehebatan kapal layar tradisional pinisi yang
memiliki daya muat ratusan ton dan kemampuan jelajah hingga ke benua
Afrika, mungkin saja kita tak menyangka kalau kapal tersebut dibuat oleh
warga di sebuah desa kecil di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten
Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Cara membangunnya pun sangat
orisinil dan unik, dimulai dari menyusun kulit lalu membuat kerangka
kapal.
Tempat pembuatan kapal pinisi berada di semenanjung Bira, yakni
di desa Ara, Lemo-lemo, dan Bira. Warga di desa tersebut sudah turun
temurun menguasai pembuatan kapal tradisional. Ribuan kapal kayu yang
kerap bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta, Kalimas Surabaya atau
pun di pelabuhan rakyat di Indonesia, bahkan dibuat dengan teknik
pembuatan pinisi yang harus mendapat sentuhan orang dari Semenanjung
Bira.
Konon, ilmu membuat kapal sudah diturunkan kepada warga tiga desa
di Semenanjung Bira tersebut dari bangsawan Bugis-Makassar,
Sawerigading. Syahdan, kapal yang digunakan Sawerigading -tokoh sentral
mitologi Sulawesi Selatan- pecah digulung laut. Kemudian lambung kapal
itu terdampar di Desa Ara. Haluan dan buritannya terdampar di Desa
Lemo-lemo. Lunas, kemudi, dan layarnya terdampar di Desa Bira. Dari
pecahan itu, mengalirlah ilmu membuat kapal pinisi
“Jadi sebodoh-bodohnya orang Bira jika berada di atas kapal pasti
pintar. Orang Bira mendapat pusaka layar dan kemudi sehingga menjadi
pelaut hebat. Sepintar-pintarnya orang membuat lambung, tidak akan lebih
bagus pekerjaannya daripada lambung buatan orang Ara. Kami orang
Lemo-lemo membuat haluan dan buritan, meski sekarang kami juga menjadi
pelaut,” kata seorang pemilik galangan kapal, Haji Abdullah (49) yang
menuturkan kembali mitologi itu di galangannya yang berada di Pantai
Tanah Lemo, pesisir barat Semenanjung Bira, sekitar 23 km arah tenggara
dari ibukota Kabupaten Bulukumba.
Mitologi itu menuntun jalan hidup orang Ara, Lemo-lemo, dan Bira.
Seorang Lemo-lemo seperti Yusman (17) telah meninggalkan sekolahnya,
dan kini belajar menjadi punggawa atau pembuat pinisi. Ia magang
mengikuti pamannya, Baso (35), kepala punggawa di galangan Abdullah.
“Saya tinggalkan sekolah sejak kelas 4 SD,” tutur Yusman sambil menaruh
potongan kayu kandole di pelataran galangan, di antara hamparan serbuk
dan serpihan kayu di belakang buritan pinisi garapan Abdullah.
Parangnya membelah kayu itu, membentuknya menjadi pasak-pasak
berdiameter 3 cm. Pasak-pasak Yusman akan merangkai papan kayu membentuk
lambung kapal pinisi sepanjang 37,5 meter. Yusman bekerja dalam diam,
mengikuti irama suara ombak yang bersahutan dengan dengungan ketam
listrik, mesin amplas, dentam pahat beradu palu. Baso tersenyum
memandangi Yusman. “Sekarang ia hanya boleh membuat pasak, menyiapkan
kabel dan alat pertukangan, juga menyimpannya. Namun akan ada waktunya
bagi Yusman untuk ikut menggarap kapal,” tutur Baso.
Ketekunan Yusman membuat pasak demi pasak itulah yang akan
melanjutkan tradisi orang Semenanjung Bira sebagai pembuat perahu
pinisi. Di tangan mereka, kapal kayu dengan dua tiang berikut tujuh
layar itu bukan sekedar teks sejarah, meski legenda pinisi memiliki
catatan panjang.
Sumber : http://regional.kompas.com/read/2010/02/08/11434564/Getaran.Gempa.di.Museum.Merapi