“Pakailah baju yang berlengan panjang, juga celana
panjang. Jangan lupa bawa air minum,” ujar Abdul Hakim (70). “Jalan ke
sana sudah penuh semak.”
Saya pun mengiyakan, walaupun sedikit kecewa karena lelaki tua itu
tidak akan ikut menemani rombongan kami. “Perintah” itu terbukti benar
belaka, setelah kami menyusuri ujung jalan kampung Ara yang berbatu,
melewati semak berduri yang merintang jalan – meninggalkan gerus di
kulit yang terasa perih ketika bercampur keringat yang dipanggang sinar
matahari. Karenanya, ketika sampai di Gua Passea, satu jam kemudian,
sisa air minum di botol mineral itu pun tandas sudah.
Gua Passea dalam kamus speleologi dikategorikan sebagai gua
vertikal, yang berarti mulut gua tepat berada di permukaan tanah. Karena
itu, menemukan gua ini gampang-gampang susah sebab mulut gua tidak
kelihatan. Bagi yang telah terbiasa menuju ke sana, rimbunan kayu bitti
yang tampak mencolok dari hamparan kerumunan resam, menjadi penuntun
alami. Sebab, pohon besar itu tepat tumbuh di mulut gua.
Gua itu menjadi begitu menarik bagi para peneliti, sebab selain
mengambarkan karakterisitik gua pantai yang sangat jarang ditemukan,
perut Gua Passea juga menyimpan misteri kebudayaan orang-orang Ara di
masa lalu. Di dalam gua, setelah menuruni tangga alami sedalam lima
meter, terbentanglah dunia lain – dunia bawah tanah, sekaligus dunia
mitis orang-orang Ara. Betapa tidak, di antara kerlip stalagtit dan
stalagmit, jejeran peti-peti mati serta tulang-belulang yang
bercampur-baur dengan pecahan keramik kuno terhampar begitu saja di
lantai gua.
Nama Passea sendiri berarti kepiluan, mungkin merujuk pada istana
orang-orang mati. Dua tahun lalu, ketika saya pertama kali ke gua ini,
kondisinya tidaklah seseram dan separah itu. Permukaaan gua yang
dahulunya rapi, sekarang sudah terbongkar dan teraduk di sana-sini.
Konon banyak paccucuk (para pencari keramik kuno) yang membongkar
permukaan lantai gua untuk mencari saladong (keramik kuno, Celadon)
yang mungkin masih tersimpan. Tutup peti mati yang berbentuk perahu
dengan ukiran yang indah itu pun sudah banyak yang hilang, konon
diperjualbelikan untuk suvenir bagi para wisatawan yang berkunjung ke
Ara ketika memesan perahu. Karena itu, saya pun menjadi paham mengapa
jumlah peti kubur saat ini tinggal tiga buah, semuanya dalam keadaan
rusak parah.
Ada tiga peti mati yang
tersisa di Leang Passea. Foto: Yadi Mulyadi.
Seorang paccucuk asal Bantaeng, Ridwan (32), yang tidak sengaja
bertemu dengan rombongan kami mengakui, ia sengaja datang menelusuri
kawasan gua-gua pantai di sepanjang pesisir timur Bulukumba untuk mecari
saladong. “Tapi tidak pernah saya ke Passea, Pak, karamakki,” ujarnya.
Walaupun dia berkelit, namun laiknya observasi para sarjana
arkelogi, saya pun tahu, para paccucuk itu kerap menggunakan tempat
keramat sebagai daerah operasi. Justru karena tersimpan sesuatu yang
berharga, tempat-tempat tertentu sengaja dikeramatkan. Buktinya, Ridwan
juga mengakui bahwa “Di Tujua Bantaeng, saya pernah dapat saladong tiga
pasang, dijual dua juta satu biji di Makassar”.
Diduga, selain akibat perbuatan paccucuk, hancurnya situs penguburan
kuno di Ara tidak telepas dari kisah DI/TII Kahar Muzakkar yang meluas
ke daerah Ara pada awal tahun 1960-an. Abdul Hakim, yang di tuakan di
Kampung Ara, menuturkan, “Dulu peti-peti itu digantung di dinding gua.
Tapi mereka putuskan talinya. Banyak yang pecah. Dan masyarakat dilarang
lagi baca-baca ke sana”. Praktis sejak saat itu, bahkan sampai saat
ini, keberadaan Leang Passea dan segala bukti sejarah yang ada di
dalamnya, hanya diketahui oleh segelintir orang tua dan para paccucuk
saja.
Bagi Abdul Hakim, keberadaan peti kubur di gua itu melengkapi
sejarah budaya Ara yang panjang. Ia menduga sejarah nenek moyang mereka
berasal dari gua tersebut. Namun bagi para ahli arkeologi, keberadaan
peti kubur itu membuka tabir yang lebih luas lagi, yakni sejarah
kebudayaan orang-orang Sulawesi Selatan awal. Pasalnya, jejak tradisi
penguburan dalam gua umumnya ditemukan di kampung-kampung yang memiliki
banyak mitologi pra-Islam. Mitologi ini kental dengan sisa-sisa praktik
kebudayaan orang-orang Austronesia yang dipercaya pernah melakukan
migrasi dari daratan Asia pada 3000 tahun yang lalu.
Namun bukti untuk mengaitkan tradisi penguburan di Passea dengan
bentuk penguburan serupa seperti di Tana Toraja, Kalumpang dan Malili,
masih memerlukan penelitian lebih dalam. Selain itu, tidak ada pula yang
tahu pasti, kapan tradisi penguburan dalam gua tersebut terhenti.
“Mungkin ketika masuknya agama Islam yang disebarkan oleh Datok Tiro
pada abad ke-17,” ujar Hasanuddin (45), salah seorang arkeolog. Pendapat
itu mungkin ada benarnya, sebab jarak antara Kampung Ara dan Kampung
Tiro – tempat Datok Tiro mengembangkan syiar Islam – tidaklah terlalu
jauh.
Leang Passea sebenarnya sudah terdaftar dalam situs-situs purba yang
di lindungi oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar.
Namun sangat disayangkan, dua tahun lalu juru pelihara yang menjaga
tempat tersebut telah meninggal dunia dan sampai saat ini belum ada
penggantinya. “Semakin rusak mi itu, Pak. Apalagi banyak bule yang kalau
pesan kapal ke Ara, kalau dia tahu ada barang-barang kuno, biasanya
juga ingin membeli,” jelas Abdul Hakim.
Saat ini Abdul Hakim berpacu dengan waktu, menyelamatkan kepingan
sejarah orang-orang Ara yang masih tersisa. Karena itu sejak tahun 2006,
ia menyusun buku tentang pembuatan perahu pinisi dan sejarah orang Ara.
Tentang Gua Passea, ia punya keluhan. “Banyak peneliti yang datang
ke Passea, tapi tulisan-tulisan tentang gua itu tidak satu pun yang
ditinggalkan pada kami di sini,” katanya. Mendengar hal itu, hati saya
menjadi kecut dan tiba-tiba saja merasa menjadi terdakwa. Jangan-jangan
paccucuk dan saya ternyata tidak jauh berbeda.(p!)
*Citizen reporter Asfriyanto dapat dihubungi melalui email
asfriyanto@yahoo.co.id |