Welcome My Blog Village


Diskusi Publik Mengenai Pinisi

Sabtu 25 Agustus 2012 bertempat di tanah kelahiran kapal pinisi yakni di desa Ara, kec. Bontobahari, forum pemerhati Ara-Lembanna melaksanakan diskusi publik mengenai pinisi dengan tema “ Pinisi : Sejarah, Budaya, dan Kesejahteraan Masyarakat

leang passea aset besar yang terabaikan

Leang (Gua) Passea di Kampung Ara, Kabupaten Bulukumba, adalah salah satu situs pekuburan kuno di Sulawesi. Di dalamnya, peti-peti mati yang dahulu tergantung di dinding gua, kini berserakan tak karuan bercampur tulang-belulang dan pecahan keramik kuno. .

Monumen Mandala Harusnya di Desa Ara, Bukan di Makassar

Monumen ini sepantasnya berada di Desa ara, pertanyaan selanjutanya kenapa desa Ara dianngap pantas menjadi tempat monumen mandala pembebasan Irian Barat.

KEPMA Ara-Lembanna Tolak Pembangunan Pabrik Peleburan Biji Besi Di Ara

Sejumlah mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam kerukunan pelajar dan mahasiswa Ara-Lembanna melakukan aksi di depan kantor Desa Ara, Kecamatan Bonto Bahari, mereka menenolak pembangunan pabrik peleburan biji besi, hari ini, Senin (9/4/2012)..

Foto-foto Pinisi Karya Orang Ara.

Selasa, 26 Maret 2013

MALIANG RI ARA

Lagu baru yg kuciptakan untuk Ara 
"Drs. Muhannis"






 

IGITTE TU ARAYA
RIE' MANA' BAKKATTA
TALA KULLE TALA MA'RING
NIKALUPPAI

MANNA LAMPAKI LERE
MANTANG PANTARANG KAMPONG
MALIANGKI RANNU-RANNU
ASSEMBO-SEMBO

REFF
PAJAMA LOPI,LOPI PINISI'NA
DUMPI BATA' BAE-BAENA
PASALONRENNA, TUNRUNG GANRANNA
JARI NAKKU'I RI GITTE NGASE'

SANGING KEOKKI MMALIANG
KEOKKI LAMMALIANG
MALIANG
RI BUTTA ARA

BANJULU “BALESSO” DALAM BINGKAI BUDAYA DAN AGAMA

 oleh  : Muh. Darwis
Muh.Darwis          (Facebook.com)

 
Prof. Van Den Berg dan Prof. Van Dick, adalah dua orang berkebangsaan Belanda yang merupakan Ahli Hukum Adat, dalam Torinya Receptio In Compleksu, mengatakan bahwa “Adat suatu daerah adalah merupakan cerminan dari Agama yang dianutnya”.
Sedangkan Prof. Snouck Hurgronye dalam Teorinya (Teori Receptie), mengatakan sebaliknya bahwa Agamalah yang harus mengikut kepada Adat Istiadat. Artinya bahwa Hukum Islam boleh berlaku manakala tidak bertentangan dengan Adat Istiadat.
Kemudian Teori tersebut ditentang oleh Prof. Hazairin (Ahli Hukum Adat Indonesia) dengan mengatakan bahwa Teori Receptie adalah Teori Setan karena menentang Iman Orang Islam. Yang benar adalah “bahwa Adat Istiadat bisa berlaku manakala tidak bertentangan dengan Hukum Islam”. Selanjut teori tersebut dikenal dengan Teori Receptie Acontrario.
Sehubungan dengan hal tersebut, menarik untuk dikaji dan dicermati keberadaan Bajulu dan balesso sebagai salah satu bahasa komunikasi yang kerapkali dipergunakan oleh Orang Ara di dalam kehidupan sehari-hari.
Banjulu sebagai gaya bahasa dalam berkomunikasi kadangkala menjadi lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan bahasa yang formal. Namun, juga Banjulu “Balesso” seringkali menimbulkan fitnah dan kesalah-pahaman di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu penulis mohon izin untuk mengulasnya dan dan mohon maaf bilamana dalam pembahasan ini terdapat kesalahan ataupun kekeliruan di dalamnya :

Konsepsi tentang Banjulu dan Balesso
Banjulu (kata sifat) atau A’banjulu (Kata kerja) adalah sesuatu yang disampaikan dengan cara bercanda, namun tetap pada konteksnya. Misalnya, Banjulu Rasulullah Muhammad SAW ketika ditanya oleh seorang perempuan tua (Baca : Nenek-nenek), “Apakah nenek-nenek seperti saya bisa juga masuk surga?, maka Nabi menjawabnya dengan bercanda (Baca : Banjulu). Oh tidak, jawab Nabi. Mendengar jawaban Nabi tersebut alangkah sedihnya perasaan si nenek. Kemudian Nabi mendekati si nenek dan membelainya dengan penuh kasih sayang, lalu berkata, “Nenek jangan bersedih, betul memang bahwa nenek-nenek tidak bisa masuk surga, tetapi nenek nanti tetap bisa masuk surga, hanya saja di Surga Nanti nenek akan kembali menjadi muda”. Mendengar penjelasan Nabi, maka si nenek yang tadinya bersedih kembali menjadi Gembira.

Balesso (kata sifat) atau A’bale-balesso (kata kerja), adalah juga banjulu. Tetapi banjulu yang satu ini, dalam persfektif budaya (adat istiadat) berkonotasi kurang sopan dan dapat menimbulkan kesalah-pahaman dan fitnah di tengah-tengah masyarakat karena; pertama, keluar dari konteks komukasi dan persoalan yang sedang dibahas. Kedua, disampaikan bukan pada suasana, waktu dan tempat yang tidak tepat. Misalnya :
1. I anu sebut saja I baso (Mohon maaf kalau ada nama yang sama, ini hanyalah sebuah contoh). Lanjut,...... I Baso maengi napakatianang amma’na. Maksudnya : Bukan menghamili ibunya, tetapi sewaktu I baso masih dalam kandungan, Ibunya sedang hamil.
Banjulu seperti ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman dan fitnah di masyarakat. Apalagi kalau iBaso yang dimaksudkan tadi sudah dewasa (sudah layak untuk menikah), dan disampaikan di tempat yang tidak semestinya.
2. Antere’ngasei mae pajamayya? . Anre’mo pajama, maeng ngasei’ kulumba. Kata kulumba artinya Kuusir, hanya tepat digunakan pada binatang.
3. Dll.

Dan,... bale-balesso dalam pandangan masyarakat Ara adalah merupakan sifat yang tercela. sehingga orang yang suka a’bale-balesso biasanya dikucilkan dalam pergaulan sehari-hari.

Banjulu dan Balesso dalam Perfektif Budaya
Prof. Dr. Samin Rajik Nur (Dosen Hukum Adat penulis sewaktu masih kuliah), dalam kuliahnya di depan Mahasiswa Fak. Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI Paulus) di Makassar pada tahun 1990 mengatakan, “Hukum Adat atau Adat Istiadat antara suatu daerah dengan daerah lainnya adalah sama. Namun ia dibedakan oleh tingkah-laku atau perilaku adatnya. Selanjutnya Beliau menjelaskan tentang perkembangan adat istiadat dengan memberikan pengkategorian sebagai berikut :
a. Adat yang mengadat : adalah adat istiadat itu sendiri
b. Adat yang diadatkan : adalah kebiasaan masyarakat yang asalnya bukan adat, namun dilakukan berulang kali dan berulang-ulang karena dianggap baik, praktis dan menguntungkan maka kebiasaan itu pun menjadi sesuatu yang diadatkan. Contohnya Ujung Kaju dalam belanja perkawinan di Ara yang baru dikenal pada sekitar antara tahun 80 an – 90 an dan masih berlaku hingga sekarang.
c. Adat yang mengapas : adalah adat istiadat yang ditinggalkan secara perlahan-lahan oleh masyarakat karena mungkin dianggap memberatkan.

Sehubungan dengan itu, banjulu “balesso” dalam kehidupan masyarakat Ara (Desa Ara dan Desa Lembanna) adalah suatu kebiasaan yang nampaknya menjadi sesuatu yang diadatkan. Entah itu sesuai atau bertentangan dengan nilai-nilai budaya masyarakatnya atau juga bahkan terhadap Islam sebagai agama yang dianut oleh Orang Ara.
Bagi Orang Ara, mungkin Banjulu adalah sesuatu yang “PARALLU NIPAKA BAKKA”. Entah karena alasan sebagai OBAT AWET MUDA, atau mungkin karena dianggap........... silahkan tambahkan sendiri!.

Banjulu dan Balesso dalam Perfektif Agama
Prof. Dr. H.Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan panggilan HAMKA atau Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul Falsafah Hidup pada halaman 131 mengatakan

“ ......lain dari pada itu disuruh pula menjaga lidah di dalam bertutur kata. Jangan sampai tutur kata menyinggung perasaan orang lain, hendaklah lidah itu dikendalikan dengan akal, tegak ditentang kesopanan dan kebaktian, jangan lidah dilepaskan saja kalau tidak akan memberikan manfaat dunia akhirat, karena segala yang keluar dari lidah akan dihitung kelak sekali sekali lagi di muka Qadhi Yang Maha Adil, Tuhan sendiri. Berkatalah terus terang diwaktu membela kebenaran, tetapi janganlah dilupakan laku hormat, jangan dikotori lidah dengan maki dan cercaan.”

Terkait dengan banjulu “balesso, simaklah firman berfirman Allah SWT dalam Surat AL- ISRAA ayat 53 yang artinya sebagai berikut :

Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: " Hendaklah mereka bertutur yang sebaik-baiknya (benar). Karena sesungguhnya syaitan selalu memperdayakan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. (AL ISRAA ayat 53).

Serta sabda Rasulullah Muhammad SAW sebagaimana haditsnya berikut ini :

“Bahagialah orang yang berbimbang dengan aib celanya sendiri, dan tidak mempedulikan aib orang lain; dinafkannya kelebihan hartanya, ditahannya kelebihan cakapnya, luas hatinya di dalam mengerjakan sunnah dan tidak dia membelok kepada bid’ah”.

Selanjutnya dalam Kitab Ihya Ulumuddin Imam Al-Ghazali menulis, “ Umar Bin Khattab berkata, barang siapa banyak tertawa pasti kurang wibawa, dan barang siapa senang bersenda gurau pasti diremehkan”.

Simpulan :
1. Banjulu sebagai strategi dalam berkomunikasi mestilah disederhanakan, jangan dilebih-lebihkan.
2. Budaya (adat istiadat) yang bertentangan dengan syariat bolehlah ditinggalkan, kalau pun terasa berat buatlah dia sebagai adat yang mengapas sehingga nantinya dia pun akan hilang, tergerus oleh jaman dan waktu yang terus berputar.

Saran :
Agar Budaya (bakat Banjulu) dapat tersalurkan sebagaimana mestinya, maka barangkali dan sudah saatnya di Ara dibuatkan SANGGAR SENI atau mungkin dengan nama lain misanya GROUP KOMEDI sehingga saudara-saudara kita yang memiliki bakat banjulu tidak terjerumus ke dalam kubangan nista karena dosa syirik sehingga banjulu “balesso tidak lantas menjadi bualan yang menyesatkan dan mematikan hati.

Terakhir, sekali lagi penulis mohon maaf kepada para Ahli Budaya, Ahli Bahasa atau bahkan Ahli Etika dan para ahli-ahli lainnya, tidak ada maksud untuk menggurui. Tulisan ini saya buat hanya sekedar menyampaikan apa yang saya ketahui, sekiranya terdapat kebenaran di dalamnya bolehlah diambil sebagai kenang-kenangan karena itu semua datangnya dari Sang Pemilik Ilmu, Allah.
Begitu juga jika sekiranya di dalam tulisan ini terdapat kata-kata yang kurang berkenan, tidak ada maksud atau niat senoktah pun untuk menyinggung apa tah lagi menyakiti. Semua saya lakukan hanya karena dorongan kecintaan terhadap Desa Kelahiran saya “ARA”, meskipun dalam kapasitas yang terbatas. Tetapi paling tidak saya telah mekakukan sesuatu.

Dan teristimewa kepada Adinda Nyoman (maksudnya Hasriadi) sudilah kiranya memaafkan kakanda yang telah lancang menegur dengan kata-kata yang kurang berkenan sehingga menjadi sebuah ketersinggungan. Sesungguhnya tiada maksud di hati untuk melakukan itu, tetapi entah mengapa kata-kata itu meluncur begitu saja.

Tetapi yang pasti bahwa apa yang saya sampaikan setidaknya mengandung pembelajaran bagi diri saya pribadi dan bagi orang yang memiliki keinginan untuk menjadi lebih baik. Wallahu A’lam Bissawab.
Makassar, 25 Maret 2013
Salam. Penulis