Welcome My Blog Village


Diskusi Publik Mengenai Pinisi

Sabtu 25 Agustus 2012 bertempat di tanah kelahiran kapal pinisi yakni di desa Ara, kec. Bontobahari, forum pemerhati Ara-Lembanna melaksanakan diskusi publik mengenai pinisi dengan tema “ Pinisi : Sejarah, Budaya, dan Kesejahteraan Masyarakat

leang passea aset besar yang terabaikan

Leang (Gua) Passea di Kampung Ara, Kabupaten Bulukumba, adalah salah satu situs pekuburan kuno di Sulawesi. Di dalamnya, peti-peti mati yang dahulu tergantung di dinding gua, kini berserakan tak karuan bercampur tulang-belulang dan pecahan keramik kuno. .

Monumen Mandala Harusnya di Desa Ara, Bukan di Makassar

Monumen ini sepantasnya berada di Desa ara, pertanyaan selanjutanya kenapa desa Ara dianngap pantas menjadi tempat monumen mandala pembebasan Irian Barat.

KEPMA Ara-Lembanna Tolak Pembangunan Pabrik Peleburan Biji Besi Di Ara

Sejumlah mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam kerukunan pelajar dan mahasiswa Ara-Lembanna melakukan aksi di depan kantor Desa Ara, Kecamatan Bonto Bahari, mereka menenolak pembangunan pabrik peleburan biji besi, hari ini, Senin (9/4/2012)..

Foto-foto Pinisi Karya Orang Ara.

Minggu, 18 Maret 2012

bulukumba 2012



Regency of Bulukumba refresents one of tourism developmentin south sulawesi,tourism development in regency of Bulukumba havingopportunity to be develop which are experiencedtourism of maritime,history andagrotourism hat having multitourious natural resources on manner and have theseparate individually is not owned by other tourism object.This tourism potencyto imform the visitors to come again.

PASSEA cafe is located in ARA village,precisely 11 kilometers from coast TANJUNGBIRA beach,this cafeexistence is expected by besides as the place for the cave adventures,for theresearchers for the students who want to researching the species in thecave,like stalactics,existing fauna and flora.

As well as PASSEA cave,PASSOHARA cave also offerthe beatifull natural scenery in the cave for the adventures andresearchers.This cave is located in ARA Village 1km from Passea Cave,we can gothere by walking around the village.

Sumber :
http://pinisiaramodern.blogspot.com/2012_03_18_archive.html

Jumat, 16 Maret 2012

Monumen Mandala Harusnya di Desa Ara, Bukan di Makassar

Opini : Oleh Nirwan

monumen dari jauh
papan nama monumen
monumen


Monumen Mandala terletak di Jalan Raya Jenderal Sudirman Makassar. Dibangun pada tahun 1994 sebagai tugu peringatan operasi Mandala Jaya pembebasan Irian Barat dari tangan penjajah Belanda. Di dalamnya terdapat diorama yang menceritakan proses pembebasan tersebut. Monumen Mandala, setinggi 75 meter, terbagi dalam empat lantai, dimana masing-masing lantai berisi simbol-simbol perjuangan pembebasan Irian Barat dan perjuangan rakyat Sulsel, termasuk zaman Pahlawan Nasional, Sultan Hasanuddin.
pintu gerbang monumen

Monumen ini sepantasnya berada di Desa ara, pertanyaan selanjutanya kenapa desa Ara dianngap pantas menjadi tempat monumen mandala pembebasan Irian Barat. Desa Ara sangat berperan penting dalam pembeasan Irian Barat dalam opersai Mandala yang lansung dipimpin oleh panglima komando Jendral Purnama Soerharho.

peta penyerangan
Di desa Ara lah tepatnya di pantai mandala ria di buat perahu sebanyak 24 buah kapal pendarat untuk pembebasan Irian barat. Selain masyarakat Ara membuat kapal pendarat, masyarakat Ara juga sebagai penagatur strategi penyerangan laut. Strategi penyerangan laut di desain selama 2 minggu bersama panglima komando Jendral Purnama Soerharho.Jadi selama 2 minggu panglima komando Jendral Purnama Soerharho dan pasukannya berada di desa Ara.
ilustrasi penyerangan

Strategi penyerangan laut yang di sumbangkan masyarakat ara yakni dengan membuat 12 kapal tanpa pengemudi atau nahkoda untuk mengelabui para tentara Belanda dari satu sisi, sehingga 12 kapal yang di atas nya ada pasukan menyerang dari sisi yang lain ( dari belakang) setelah pasukan Belanda fokus menyerang kapal 12 yang di atas nya tidak ada orang.

Keberadaan pasukan pembebasan Irian Barat lebih lama di desa Ara di banding berada di Makassar dan strategi yang di sumbangkan juga sangat ampuh jadi sepantasnya Monumen Mandala Pembebasan Irian Barat berada di desa Ara
monumen dari kejauhan

"Pinisi Bukan Milik Bulukumba Semata?"

Mengapa ini bisa terjadi, masyarakat ara harus bergerak terutama anggota dewan kita yang terhormat yang berasal dari Bontobahari dan terkhusus buat bupati kita yang katanya punya darah keluarga desa Ara
kebanggaan ara telah di klaim


*Menjadi Ciri Khas Daerah, Miniatur Disimpan di Lobi Kantor
Laporan: Andhika Mappasomba

Pinisi yang selama ini dianggap sebagai kekayaan budaya masyarakat hingga menjadi identitas Bulukumba (Sulsel) mendapat ujian. Kini masyarakat Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan mengklaim juga sebagai miliknya.
Hal tersebut terungkap setelah seorang perantau asal Bulukumba, H Kamiluddin Daeng Malewa yang kini menetap dan menjadi seorang pengusaha di daerah tersebut, memberikan informasi dan gambar ke Tim Sisi Lain (TSL) Radar Bulukumba, Rabu (8/2) bahwa pinisi telah dijadikan identitas atau ciri khas daerah tersebut.
Kamiluddin mengungkapkan pinisi memang telah dijadikan sebagai ciri khas daerah tersebut. Bahkan dia mengatakan kalau Pemkab Tanah Bumbu memberi perhatian yang lebih pada pinisi. Hal tersebut dibuktikan Pemkab Tanah Bumbu dengan membuat miniatur pinisi yang diletakkan di lobi kantor bupati.
Bukan hanya itu. H Kamiluddin menjelaskan bahwa logo Kabupaten Tanah Bumbu saja memang menjadikan Perahu Pinisi sebagai salah satu ikon yang tegas di dalamnya.

Lebih jauh, H Kamiluddin menjelaskan bahwa pembangunan Perahu Pinisi di daerah itu pada mulanya diprakarsai seorang yang bernama H Tibo Dengi dan Tawang Daeng Baji (Punggawa dari Ara Bulukumba) dan untuk Sombala dan kelengkapannya tetap didatangkan dari juga Bira Bulukumba. Terakhir, keberlanjutan pembangunan pinisi di daerah tersebut dilakukan oleh seorang yang bernama H. Taheruddin hingga sekarang.

"Sebenarnya sejak tahun 70-an pinisi sudah dibuat di daerah ini, karena bahan bakunya yang berlimpah. Mereka membuatnya dengan kapasitas muatan yang jauh lebih besar, th 1980 yg terbesar adalah perahu milik Toke Ming Qui dengan nama KM DIRGAHAYU yang dibuat selama 2 tahun. lama kelamaan, tonase perahu yang dibuat berangsur mengecil karena bahan baku mulai berkurang. Bahkan, akhir tahun 2000-an ada pesanan dari Pemprov Kalsel untuk membuat Kapal Pesiar (masih jenis pinisi)," paparnya.

H Kamiluddin juga mengungkapkan kalau di Kalimantan memang banyak pinisi. Hanya sekarang produksinya mulai berkurang. Bahkan telah banyak yang menjadi bangkai di beberapa tempat. "Sisa-sisa pinisi bisa kita lihat perahu-perahu pinisi yang hampir jadi fosil di jembatan Batulicin dan Tanah Merah, pembangunannya tidak bisa dilanjutkan karena razia ilegal logging mulai ketat," ungkapnya.

Di dunia maya sendiri, khususnya jejaring sosial facebook, Klaim Pemkab Tanah Bumbu tersebut mengundang polemik tajam dan mengarah kepada kekecewaan yang menganggap bahwa Pemerintah Kabupaten Bulukumba sangat lemah dalam memberikan perhatian dan kepedulian dalam mengupayakan landasan hukum atas hak kekayaan milik daerah Bulukumba. Tak kurang dari 40 an komentar yang memberikan tanggapan terhadap persoalan tersebut di salah satu facebook milik TSL.

"Hari ini baru pinisi yg diklaim orang, ketika pemerintah tak peduli dengan warisan leluhur... mungkin esok bumi Bulukumba akan ada yang mengklaim sebagai milik pribadinya," jelas salah satu komentar yang dikutip oleh TSL milik pengguna akun Idrus Paturusy.

Menanggapi persoalan pinisi ini, seorang legislator Bulukumba, Zulkifli Saiyye yang dikonfirmasi di Kantor DPRD BUlukumba atas persoalan klaim Pemkab Tanah Bumbu ini mengatakan bahwa dia secara pribadi tidak bisa menerima hal tersebut. "Kami akan usut," jawabnya singkat kepada TSL. (Dhika/80)

Sumber : http://www.mercusuarnews.com/2012/02/phinisi-bukan-milik-bulukumba-semata.html

Kamis, 15 Maret 2012

Buku Bercerita tentang ARA (Narasi Islam di Asia Tenggara)

 
Buku ini adalah hasil penyigian Thomas Gibson di Desa Ara, Bulukumba, Sulawesi Selatan—sebuah desa Makassar di ujung selatan jazirah Sulawesi. Penelitian ini membentangkan hasil studi apik tentang komunitas-komunitas kompleks di Asia Tenggara Kepulauan yang memeluk Islam sejak kurun waktu 1300-1600. Di dalam buku ini, Gibson memaparkan tentang gagasan kosmologikal kerajaan-kerajaan, kosmopolitan mistisisme dan hukum Islam, serta gagasan global pada negara birokratik modern.


Buku ini merupakan buku kedua profesor antropologi University of Rochester ini, setelah menulis Kekuasaan Raja, Syeikh, dan Ambtenaar: Pengetahuan Simbolik dan Kekuasaan Tradisional Makassar 1300-2000 (Ininnawa, 2009). Hasil penelitian ini mendapat anugerah Clifford Geertz Prize tahun 2008 untuk kategori antropologi agama.


“ Sebuah capaian langka dalam hal menyingkap cara kerja pengetahuan simbolik dan teknik menunjukkan kekuatan rumusan teori klasik penyokong disiplin antropologi dengan gaya yang jarang terlihat akhir-akhir ini dalam tulisan etnografi ...”
Elizabeth Fuller Collins (Ohio University), Anthropology News


Sebuah kontribusi besar terhadap pemahaman kita tentang Islam di Asia Tenggara ... kepakaran Gibson dalam membaca dan menulis ulang sejarah lisan, kitab dunia Islam, kisah epik, silsilah kerajaan dan dokumen pemerintahan mempertontonkan bentuk terbaik dari kemampuan seorang ilmuwan, sebagaimana ia tunjukkan sebagai ahli antropologi sekaligus sejarawan. 
John T Sidel (London School of Economics), Journal of Islamic Studies


Sebuah kajian yang rumit dengan ambisi besar. Tom Gibson telah melanjutkan petualangannya dalam merajut ingatan dan tradisi Sulawesi untuk menggeledah beragam cara Islam ditafsirkan, dianut, dan didayagunakan dalam konteks tertentu di Asia Tenggara ... sebuah capaian besar.” 
Michael Laffan (Princeton University), Journal of the Economic and Social History of the Orient


“Proyek Gibson—juga relevan bagi sejarawan dan ahli antropologi yang mengkaji masyarakat lokal di Indonesia—adalah mengangkat kondisi lokal di Ara dalam kaitannya dengan perkembangan regional, nasional, dan global ... Penelitiannya yang membentang pada cakupan masa yang luas membuka kemungkinan-kemungkian baru, khususnya pada bidang ilmu yang masih jarang ditulis dan melakukan lintas-batas masa yang sangat disenangi para sejarawan: masa modern versus pra modern, masa kolonial, dan pasca kolonial.”
William Cummings (University of South Florida), Indonesia
 
Sumber : http://penerbit-ininnawa.blogspot.com/2011/12/narasi-islam-di-asia-tenggara.html